Senin, 08 November 2010

Ekonomi Syariah di Balik Perang Dolar dan Yuan


Senin, 08 November 2010 pukul 11:18:00

Sofyan S Harahap
(Guru Besar FE Universitas Trisakti)

Ekonomi syariah yang selama ini kita lihat di Tanah Air hanya berkutat pada bank syariah, asuransi, dan sukuk. Padahal bank syariah, asuransi, dan sukuk hanya sebagian kecil komponen dari suatu sistem ekonomi, bahkan dalam sistem keuangan atau sistem moneter.
Ada sistem lain yang sangat berpengaruh dalam ekonomi tersebut, yaitu sistem moneter yang belum disentuh dan belum bisa diaplikasi oleh kita karena kelemahan politik.

Tulisan ini akan mencoba belajar dari apa yang terjadi belakangan ini, yaitu perang 'mulut' antara Amerika dan Cina khususnya antara dolar dan yuan. Sebenarnya, perang ini juga pernah terjadi antara yen dan dolar, tetapi kali ini lawannya adalah Cina, lawan yang jauh lebih besar dan berbahaya dibandingkan Jepang, yang tertinggi di dunia. Bayangkan pertumbuhan Cina tahun 2010 ini diprediksi di atas 10 persen tertinggi di antara negara-negara G20.

Surplus perdagangannya saat ini 3 triliun yuan. Penduduknya terbesar 1,3 miliar bukan saja di mainland, Taiwan, melainkan juga di seluruh dunia yang akan menjadi duta-duta ekonominya. Dengan situasi ekonomi yang kuat itu, Cina masuk dalam anggota BIRC, Brazil, India, Rusia, dan Cina yang akan masuk dalam struktur IMF nantinya dan menjadi kekuatan ekonomi dunia yang harus diperhitungkan. Bahkan, tahun 2020 Cina diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi kedua setelah Amerika.

Beberapa minggu sebelum pertemuan tahunan G20 di Gyeongju, Korea Selatan, baru-baru ini kita menyaksikan bagaimana Amerika meminta agar Cina  membiarkan kurs yuan berfluktuasi sesuai dengan pasar. Amerika menduga bahwa Cina menggunakan yuannya sebagai alat untuk melakukan praktik dagang yang tidak fair melawan Amerika. Amerika saat ini mengalami krisis ekonomi, keuangan, dan perdagangan karena defisit perdagangannya terus membengkak pada tingkat yang sangat mengkhawatirkan ekonomi dunia, bahkan defisit perdagangannya sudah mencapai 1,4 trilion dolar AS tertinggi dalam sejarah.  Menurut Amerika, salah satu penyebab defisit ini karena kurs nilai mata yuan diatur atau direkayasa oleh Pemerintah Cina dan dibiarkan rendah sehingga barang-barang produk Cina membanjiri Amerika dan menimbulkan bengkaknya defisit perdagangan dengan Cina.  Bahkan, inilah salah satu isu yang menjadi pembahasaan utama di pertemuan G20 itu. Amerika tidak ingin ada negara yang bermain curang (menurut tuduhan Amerika) melalui rekayasa kurs mata uangnya atau on competitive currency devaluations  sehingga bisa meningkatkan ekspor produknya, menaikkan defisit negara, dan akhirnya menaikkan cadangan devisa. 

Untuk mengatasi perang dolar yuan itu, Korea mengajukan inisiatif moderat, yaitu "The Korean Initiative", dengan sistem kurs yang mengarah pada more market-determined exchange rate system yang akan menggambarkan situasi fundamental ekonomi suatu negara bukan akibat competitive devaluation of currencies, sebagaimana dituduhkan Amerika ke Cina.

Sistem moneter AS

Sistem moneter Amerika mengandalkan nilai tambah ekonomi melalui upaya menggenjot pasar uang dan modal yang ditandai dengan: dilemparnya kredit atau utang, atau debt financing, dana murah, utang bisa diderivatifkan, kekayaan satu set bisa meminjam tujuh kali dari nilai kekayaan yang ada serta dilakukan melalui media derivatif dan sekuritisasi aset atau melalui surat-surat jaminan utang. Memang dampaknya dana mengalir ke Wall Street, Manhattan, Amerika pusat keuangan dunia. Bahkan, dana-dana sovereignity (dana pemerintahan) pun diinvestasikan dan diserahkan untuk dikelola fund manager kapitalis di sana termasuk dana minyak Timur Tengah, Cina, dan Jepang. Dalam perkembangan pasar modal kalah dari pasar uang bahkan dari pasar spekulasi kurs mata uang (transaksi ini dimulai tahun 1974). Bisnis inilah yang menghancurkan ekonomi UK awal tahun 1990-an oleh George Soros dan ASEAN 1997. Pasar uang dan pasar modal menjadi ajang spekulasi para pemain fund manager. Mereka menjadi penikmat kekayaan yang sangat besar dari pasar uang dan modal ini. Sistem ini bisa juga kita namakan dengan monetary based economy. Tidak heran semua keuntungan bisnis di Amerika 40 persen berasal dari transaksi pasar uang dan modal.

Berbeda dengan Amerika, Cina soko guru ekonominya yang lebih utama adalah real based economy.  Dalam sistem ini yang menjadi fokus bukan penyediaan uang atau utang dengan mendapat nilai tambah dari uang (riba), tetapi produksi barang. Inilah yang sebenarnya menyentuh kepentingan rakyat karena dengan kegiatan produksi itu lahir kesempatan kerja, laba, dan pendapatan rakyat melalui berbagai kegiatan ekonomi. Distribusi pendapatan lebih merata, risiko lebih menyebar, dan sumber alam dioptimalkan. Potensi SDM bisa disalurkan sehingga pengangguran dan pertumbuhan ekonomi meningkat. Inilah yang dialami Cina saat ini sehingga yuannya kuat dan dolar justru melemah.

Ekonomi syariah lebih condong ke real based economy tanpa melupakan monetary based economy, tetapi yang dijalankan secara syariah. Dalam ekonomi Islam pasar uang dan modal bukan untuk spekulasi atau meraih uang dari uang dan utang, tetapi menjadi ekuitas atau penyertaan yang akan membagi laba (profit),  rugi (loss, pain),  biaya (cost), secara bersama-sama sehingga lahir kooperasi, kolaborasi, dan sinergi bukan kompetisi yang saling mematikan. Dalam menggambarkan kedua pendekatan ini, Jusuf Kalla pernah merumuskan kebijakan ekonominya dengan sangat simpel: 'Bursa Efek Indonesia perlu, tetapi lebih perlu Tanah Abang'. Semoga pemerintah kita bisa belajar dari kasus perang dolar dan yuan ini.
http://koran.republika.co.id/koran/24/122649/Ekonomi_Syariah_di_Balik_Perang_Dolar_dan_Yuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar