Selasa, 09 November 2010

Bencana Instan: Pengemis Gadungan

Bencana Instan: Pengemis Gadungan
Selasa, 09/11/2010 09:00 WIB - Arswendo Atmowiloto

Budayawan

Setiap kali ada bencana, skala lokal maupun nasional, selalu ada aktivitas sosial yang menunjukkan solidaritas untuk mengentaskan. Ini menandai kebersamaan, juga dalam bentuk keprihatinan, yang baik dan benar serta mulia.
Masyarakat mengambil langkah bergegas, jelas, nyata, tanpa menunggu instruksi dari atas. Bahkan kalau bencana ini berurutan dan berkesinambungan seperti di Wasior, Gunung Merapi, dan Kepulauan Mentawai, seperti yang terjadi sekarang ini. Tapi, juga menimbulkan kesan kurang menyenangkan. Yaitu lahirnya barisan pengemis gadungan yang meminta sumbangan. Mungkin saatnya kita berpikir ulang tentang cara penanganan seperti ini. Mengemis bukan pencitraan dan contoh yang membanggakan, apalagi jika menjadi kebiasaan.
Instan dan Instansi
Tindakan secara instan, secara langsung, merupakan reaksi yang meringkas mata rantai birokrasi atau cara kerja instansi yang memerlukan banyak rapat dan banyak tanda tangan sebelum sampai keputusan dan pelaksanaan. Unsur percepatan waktu sangat diperlukan dalam menanggapi bencana yang selalu dirasa tiba-tiba. Namun, agaknya menjadi tren, menjadi jalan keluar setiap kali— yang memang berulang kali terjadi.
Yaitu dengan mengumpulkan sumbangan secara langsung dari masyarakat di jalan-jalan. Saya merasa kurang set, setiap kali menjumpai. Para pengemis gadungan, istilah untuk mereka yang sehari-hari bukan pengemis dan tidak bekerja sebagai pengemis— ini bahkan berani merendahkan diri untuk menjadi pengemis. Mereka ini cukup gagah, kadang dengan jaket mahasiswa, kadang dengan identitas Ormas atau sejenis itu, berada di jalan-jalan, terutama dekat jalan masuk tol.
Membawa kotak karton yang ditulisi “sumbangan untuk” dan menyodorkan untuk penderma. Kotak itu terbuka sehingga uang bisa dilemparkan begitu saja. Secara teknis menjadi gangguan karena jalanan menjadi lebih macet, lebih melambat. Secara etis juga menjadi gangguan mata karena wajah-wajah muda bersemangat ini harus bersaing keringat dengan pengemis yang tidak gadungan, yang berbekal kemoceng atau tepuk tangan atau sekadar pamer wajah memelas.
Secara ekonomis juga mudah menimbulkan tanda tanya, bagaimana pertanggungjawabannya mengingat tak ada catatan mendapat berapa dan diteruskan ke mana. Artinya lebih mudah menimbulkan prasangka buruk, dan tidak baik untuk keseimbangan hidup. Secara didaktis, tidak mendidik ke arah yang baik dan cara yang tidak menarik. Seolah membenarkan bahwa mengemis adalah suatu usaha atau kerja bagi yang bisa menemukan cara yang berbeda.
Ini menjadi pertanyaan memprihatinkan mana kala mengemis menjadi pendekatan, menjadi sikap budaya yang kita terima sebagai sesuatu yang biasa atau wajar sehingga bisa terus dilakukan dan dianggap benar. Bukan hanya di kota besar seperti Jakarta, pengemis gadungan dengan seragam dan sikap yang sama juga saya temukan di jalanan di Lampung atau Solo, baik di jalan besar atau jalanan masuk ke kampung.
Instingtif dan Institutif
Ini semacam pembenaran apa yang selama ini sudah berlangsung. Di jalanan yang rusak dan sedang diperbaiki juga ada tanda tidak resmi “sumbangan untuk.” Dengan begitu, menurut cerita, perbaikan sengaja diperlambat agar pengemis gadungan bisa bekerja lebih lama. Cerita semacam ini belum tentu benar walau belum tentu salah.
Dalam skala lebih besar, pengemis gadungan ini bukan lagi mengenakan jaket almamater, melainkan mengenakan dasi dan jas serta simbol bergengsi. Pada titik itu bukan nama perguruan tinggi yang dipertaruhkan, melainkan nama negeri. Yang dalam proses pengawasan, kontrol, atau bahasa populernya akuntabilitas, juga sama bisa dipertanyakan seperti kotak karton yang dijajakan terbuka.
Saya tidak sedang mempertanyakan itu semua. Saya hanya mencoba mengembalikan ke harga diri, mengingatkan banyak pendekatan lain yang mungkin tanpa dicurigai. Misalnya keterlibatan kampus atau organisasi kemasyarakatan dalam mencari dana spontan, apa salahnya dilakukan di halaman dan wilayah kampusnya sendiri-sendiri. Ini lebih benar dalam artian menuntut kepada diri sendiri, dan bukan membawa persoalan ke luar kampus.
Hal yang sama yang sudah berjalan pada beberapa perusahaan atau bahkan perkumpulan arisan untuk kemudian bisa disalurkan melalui lembaga yang dipercaya. Sekarang ini, selain Palang Merah Indonesia, media massa juga telah menunjukkan dan menjadikan wadah penampung dan penyalur secara terbuka.
Media massa sebagai institusi telah berhasil memainkan perannya tanggap bencana bukan dari kepentingan pemberitaan semata. Media massa elektronika seperti televisi dan radio, cetak baik harian atau berkala, telah menimbulkan rasa percaya di masyarakat. Dan mungkin akan lebih kuat, lebih bermanfaat jika, andai saja, secara bersama menyediakan satu nomor rekening saja.
Selain mempermudah ingatan juga sekaligus menunjukkan kebersamaan kepentingan dan mengurangi egoisme pribadi menjadi pengumpul dana spontan terbanyak. Sebaiknya begitu dan bisa begitu. Karena yang terutama dan utama adalah mewadahi solidaritas spontan yang mengagumkan dan masih berharga maknanya. Kita disadarkan bahkan nama-nama penyumbang spontan yang dermawan ini banyak menggunakan nama NN alias no name, alias tanpa nama—atau sekadar menyebutkan sebagai “hamba Allah”, atau kalaupun pakai inisial adalah inisial yang umum.
Ini semua sebenarnya bukti kuat bahwa sikap instingtif saling membantu masih berlaku dan menjadi sikap budaya kebersamaan. Ini yang harus diuri-uri, dihidupkan, dijaga, dan terus digali ekspresinya. Kebersamaan sebagai satu bangsa bukanlah hanya karena sama-sama pembayar pajak, karena sama-sama bertanda penduduk Indonesia, melainkan juga tetap kebersamaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Dengan begitu, setiap kali ada bencana, setiap kali pula diingatkan dan dikuatkan persaudaraan kita. Semua ini tak memerlukan pengemis gadungan yang berada di jalanan. (oke)
http://harianjoglosemar.com/berita/bencana-instan-pengemis-gadungan-28740.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar