Selasa, 09 November 2010

Obama dan Kemitraan Setara Indonesia-AS

Obama dan Kemitraan Setara Indonesia-AS PDF Print
Tuesday, 09 November 2010
Presiden Amerika Serikat Barack Obama akhirnya berkunjung ke Indonesia, setelah beberapa kali mengundurkan jadwal kedatangannya.Obama dan Susilo Bambang Yudhoyono, dua presiden dari negara berpenduduk masing-masing ketiga dan keempat terbesar di dunia ini,akan meluncurkan pakta kemitraan komprehensif di segala bidang.
Satu hal yang digarisbawahi Pemerintah Indonesia adalah bahwa perjanjian kemitraan ini harus berdasarkan prinsip kesetaraan. Kedatangan Obama ke negeri yang pernah menjadi tempat tinggalnya semasa kecil, oleh banyak pihak, memang diharapkan membawa perubahan positif: saling menguntungkan dan saling membutuhkan dalam kemitraan dua bangsa ini. Mengenai hasil pemilu sela AS, di mana DPR dikuasai Partai Republik, Marty menegaskan hal itu tidak memengaruhi hubungan RIAS. Namun, kunjungan Obama yang ke Indonesia terkesan “transit”, disinyalir sebagai salah satu reaksi terhadap hasil pemilu sela tersebut. Kesan sebagai ”orang asing”dengan bapak kandung dari Kenya dan bapak serta saudara tiri dari Indonesia,tidak ingin menjadi amunisi yang merugikan Partai Demokrat.

Meski begitu,pemerintah diharapkan telah memanfaatkan waktu untuk mematangkan agenda dan rencana aksi kerja sama secara rinci. Intinya, kesetaraan. Jangan serahkan pangan,SDA, dan manufaktur vital kepada asing?semua yang merupakan hak paling mendasar bagi rakyat kita.Partai Demokrat AS sebenarnya mengusung peranan negara untuk menyejahterakan rakyat dengan penguatan di level masyarakat menengah ke bawah. Kendati lebih banyak yang antusias, kunjungan Barack Obama ke Indonesia juga menuai aksi penolakan sebagian masyarakat.

Mereka yang menyambut kedatangan Obama beralasan, sebagai negeri berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, Indonesia juga dinilai bisa memainkan peran sentral sebagai mediator dalam upaya Obama untuk mendekatkan AS (dan Barat) dengan “Dunia Islam” yang sejak 9/11 sering kali dalam kondisi kurang bersahabat. Selain itu, inisiatif Kemitraan Komprehensif Indonesia-AS misalnya, bila dirundingkan dalam kondisi kesetaraan, bisa menjadi basis kerja sama yang menguntungkan dua belah pihak.Hal yang dinilai sangat perlu mengingat selama ini hubungan tersebut masih asimetris karena lebih banyak menguntungkan pihak AS.

Hubungan asimetris itulah yang, antara lain, menjadi alasan penolakan mereka. Pihak ini melihat tujuan utama kedatangan Obama sebagai upaya mengamankan kepentingan politik- ekonomi AS, termasuk dalam mengamankan berbagai perusahaan (tambang) besar AS yang oleh kalangan masyarakat sipil dianggap merugikan masyarakat setempat, sebagai pemilik genuine sumber daya alam. Sebagian dari kelompok Islam yang menolak Obama, menyebut janji-janji Obama kepada umat Islam sekadar retorika.Saat pidato di Mesir misalnya,Obama berjanji akan memperbaiki hubungan Amerika dengan Islam, termasuk menegakkan perdamaian di Timur Tengah.

Pernyataannya ketika itu, sangat menyejukkan: ”Siklus kecurigaan dan pertentangan ini harus diakhiri.” Sayangnya, dalam waktu hampir bersamaan ketika menerima Hadiah Nobel Perdamaian,Obama memutuskan mengirim tambahan pasukan AS ke Afghanistan. Keputusan yang seakan menyiram bensin ke dalam “api kecurigaan” yang masih berkobar. Hal tersebut ikut memperkuat citra buruk AS sebagai negara adidaya yang semena- mena.

Obama dan Citra

Sekitar enam dekade lalu, sebuah novel berjudul The Ugly American karangan Lederer dan Burdick, dengan cepat menjadi bestseller. Novel tersebut mencoba menerangkan kepada warga AS tentang buruknya citra AS di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.Penyebabnya, demikian para penulis, karena di mana-mana AS menebar ”American Way of Life” serta dominasi ekonomi-politiknya. Dalam kampanye ketika mencalonkan diri sebagai Presiden AS, George W Bush seakan diingatkan oleh buku tersebut.

Menurutnya, ”Bila kita tidak ingin kembali dianggap sebagai ”Ugly Americans”, kita harus berhenti berkata kepada seluruh dunia bahwa kami melakukan seperti ini, demikian pula yang harus kalian lakukan.” Ironisnya,setelah terpilih menjadi presiden,semua kata-katanya semasa kampanye sama sekali dilupakan. Tidak hanya bahwa semua bangsa di dunia harus mengikuti ”model AS”,tapi mereka pun harus mempunyai lawan yang sama dengan AS. Siapa pun yang tidak setuju pada sikap AS dalam perangnya melawan terorisme otomatis dipandang sebagai lawan. Kini,dengan terpilihnya Barack Obama, presiden kulit hitam pertama AS, apakah citra “The Ugly American” dengan sendirinya akan berubah total?

Berkat memiliki ayah biologis dari Afrika, kemudian pernah bermukim di Indonesia, serta sebelum menjadi presiden banyak melakukan kegiatan sosial di permukiman kumuh Chicago, Obama dinilai dan diharapkan memiliki empati kepada orang dan negara miskin serta pemahaman budaya yang pluralistis. Amerikasentrisme, yang melegitimasi hegemoni politik-ekonomi- budaya AS (Barat),telah banyak mengundang kritik, termasuk di AS sendiri. Karena dampaknya mirip dengan Eropasentris dua abad lalu yang menjadi legitimasi ”kolonisasi” fisik maupun psikis masyarakat di Negeri Selatan.

Kemitraan Setara

Kita memahami, sebagai presiden, Obama tentu saja akan bekerja untuk kepentingan rakyat AS yang memilihnya. Karena itu, berharap terlalu banyak kepada Obama agar memberikan keuntungan untuk Indonesia perlu diredam. Secara prioritas, kebijakan luar negeri AS tampaknya masih akan tetap berkisar pada meroketnya perekonomian dan militer China serta program nuklir Iran.

Selain berupaya membawa citra baru AS yang tidak lagi sangar, Obama oleh banyak kalangan dipercaya membawa visi baru bagi Amerika dalam melihat dunia. Meski demikian, tantangan yang dihadapi Obama dalam periode pertamanya ini tidaklah ringan. Banyak yang menganggap, citra dan visi AS baru akan benar-benar berubah selaras dengan keinginan Obama bila ia berhasil terpilih kembali. Bukan hal yang mudah meski banyak yang optimistis. Saat ini,di dalam negeri,leadership Obama dari segi konsep, taktik, dan strategi sedang disorot.Wacana yang berkembang adalah, dari segi visi (internal dan global) serta kemauan politik, Obama dinilai sangat bagus meski dalam keterampilan berpolitik untuk mengimplementasikan visinya, ia dianggap lemah.

Ia membutuhkan lebih banyak teman, dalam maupun luar negeri. Secara tidak langsung, ketika berupaya membangun relasi internasional, Obama membutuhkan Indonesia, terkait visi di Timur Tengah,Iran,dan China. Bagi kita, hal ini bisa memperkuat daya tawar demi kepentingan nasional. Berbagai kontrak karya dengan perusahaan (pertambangan) besar dari AS misalnya,selayaknya dirundingkan kembali.

Beberapa perusahaan pertambangan AS yang sekitar tiga dekade lalu masih tidak dikenal dan kini menjadi bagian dari kelompok usaha per-tambangan (emas) terbesar di dunia, patut mengembalikan sebagian keuntungan raksasanya bagi kemaslahatan masyarakat yang mayoritasnya masih berkutat dalam kemiskinan.(*)

Ivan A Hadar
Redaktur Jurnal SosDem, Anggota Forum Kawasan Timur Indonesia  
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363080/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar