Selasa, 09 November 2010

Teknologi Pengolahan Minyak

Rabu, 10 November 2010 pukul 10:51:00

Teknologi Pengolahan Minyak


Oleh Yusuf Assidiq

Ilmuwan Muslim, Najm al-Din Ahdab,  menulis buku tentang roket berbahan minyak.



Minyak mengantarkan umat Islam ke sebuah babak baru. Di ranah ilmu pengetahuan, para ilmuwan mengerahkan kemampuannya mengembangkan cara mengeksplorasi dan mengembangkan minyak. Termasuk menghasilkan produk variannya. Dengan minyak, kota-kota juga benderang. Militer pun memanfaatkannya.
Dinasti Umayyah menggunakan minyak untuk peperangan. Sebelumnya, pasukan Islam membuat alat perang berupa ketapel besar. Alat ini berfungsi untuk melontarkan batu. Karena dayanya yang kuat, dapat menghancurkan bangunan atau tembok. Selanjutnya, ketapel tidak saja melontarkan batu tetapi juga cawan berisi minyak.

Jika menghantam sasaran, cawan itu pecah berkeping-keping. Tumpahan minyak menjadi mudah tersulut api dan menimbulkan kobaran dahsyat. Sayang, rahasia teknik ini bocor dan sampai ke tangan musuh. Akibatnya, Tentara Bizantium mampu memukul mundur pasukan Muslim dengan menggunakan senjata yang sama.

Akhirnya, pada abad ke-7 itu pasukan Islam gagal menguasai Konstantinopel. Namun, teknologi pengolahan minyak terus bekembang. Jabir bin Hayyan, ahli kimia pada abad ke-8 Masehi, menemukan teknik penyulingan yang menghasilkan alembik. Penemuan dikembangkan lebih lanjut oleh al-Razi.

Al-Razi memanfaatkan alembik dalam pemrosesan minyak mineral untuk memproduksi minyak tanah. Di dunia Islam, minyak tanah dikenal dengan istilah naft abyad atau minyak putih. Secara luas, minyak tanah yang berhasil diproduksi al-Razi digunakan sebagai bahan bakar lampu serta pemanas.

Ia menjelaskan proses pembuatan minyak tanah dalam karyanya yang berjudul Kitab al-Asrar. Ia mengembangkan teknik penyulingan dengan bahan tanah liat. Penyulingan minyak mentah, harus dilakukan berulang-ulang untuk memastikan hasilnya benar-benar bersih.

Tanah liat berfungsi sebagai penyerap, terutama bila zat hidrokarbon dari penyulingan telah menguap. Pada masa pemerintahan Abbasiyah, beberapa sekolah kimia mengembangkan variasi jenis alembik. Ada yang terbuat dari bahan keramik, tembaga, atau kuningan.

Sebagian digunakan untuk kepentingan penelitian di laboratorium. Sisanya, dijual di toko-toko bahan kimia. Sejarawan Muslim al-Dimasqhi melukiskan bahwa pada awal abad ke-13 terdapat pasar khusus di Damaskus, yakni Suq al-Qattarine, yang menyediakan bahan-bahan kimia, termasuk alembik.

Praktik penyulingan minyak pun marak dilakukan oleh masyarakat Muslim di Palestina, Mesir, hingga Yaman. Bahasan tentang minyak tanah dikupas dalam ensiklopedi berjudul al-Qamus al-Muhit, yang disusun Abu Thahir al-Fayruzabadi. Sarjana asal Persia dari abad ke-15 ini menjelaskan istilah naft atau minyak.

Dalam penjelasannya tentang naft,  ia menyebutkan minyak putih adalah jenis minyak terbaik. Sifatnya, tidak kental, tetapi memiliki daya bakar tinggi. Lebih jauh ia mengungkapkan berbagai pemanfaatan minyak tanah, antara lain untuk bahan bakar lampu ataupun senjata militer.

Pada saat itu, sektor perminyakan telah berkembang pesat. Produksinya berskala besar dan diperjualbelikan secara bebas di wilayah-wilayah Islam. Dari penuturan Abu Thahir tersebut, dapat diketahui bahwa sudah berabad-abad umat Islam berhasil membangun industri.

Pencapaian ini didukung penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan pada masa itu. Ilmuwan Zayn Bilkadi dalam tulisannya, The Oil Weapon, keahlian umat Islam di bidang ini mencakup sektor hulu hingga hilir. Maksudnya, mereka mempunyai kemampuan dalam mengeksplorasi dan menguasai teknologi pemrosesannya.

Bidang kedokteran

Pemakaian minyak tanah untuk penerangan atau pemanas hanyalah beberapa dari sekian banyak manfaat. Seorang dokter asal Basra, Irak, bernama Masarjawah mengungkapkan manfaat lain minyak tanah untuk keperluan pengobatan. Ia mencatatkan pengetahuannya dalam kitab Qiwa al-Aqaqir.

Kitab milik Masarjawah ini menjadi literatur medis pertama di dunia Islam yang menyebutkan istilah minyak putih.  Masarjawah mengatakan, bila digunakan dengan takaran yang tepat dan tak berlebihan, minyak sangat efektif untuk menyembuhkan infeksi, batuk, dan asma.    

Rekayasa kimia sarjana Muslim lain yang berhubungan dengan minyak adalah kemampuan mereka menghasilkan aspal. Bahan ini untuk menghaluskan jalan di kota-kota utama pemerintahan Islam. Teknik pembuatan aspal serta penggunaannya untuk menghaluskan jalan dipaparkan oleh al-Yaqut, penjelajah Muslim abad ke-13 Masehi.

Najm al-Din Ahdab, sarjana dari Suriah, pada 1285 menulis buku yang menyingkap temuannya berupa roket berbahan bakar minyak. Buku yang diterjemahkan ke bahasa Inggris itu berjudul The Book of Horsemanship and the Art of War. Hingga kini, buku itu tersimpan di Perpustakaan Bibliotheque, Paris, Prancis. ed: ferry kisihandi


Kawasan Penghasil Minyak


Penguasaan teknik pengolahan minyak memberi dampak besar. Ditemukannya metode penyulingan oleh al-Razi untuk memproduksi minyak tanah membuka jalan bagi kehidupan umat Islam yang lebih baik. Minyak tanah digunakan untuk bahan bakar guna menghidupkan lampu dan pemanas.

Dengan lampu minyak itu kota-kota utama Muslim, seperti Baghdad, Cordoba, Kairo, maupun Damaskus, tampak terang-benderang di waktu malam. Pada masa selanjutnya, kebutuhan terhadap minyak kian meningkat hingga mendorong aktivitas eksplorasi sumur minyak.

Al-Mas'udi, sejarawan ternama abad kesepuluh, mencatat sejumlah kawasan kaya minyak dan gas, antara lain Oman, Kuwait, Hadramaut, Persia, Irak, Taskent, Turkmenistan, dan India. Ladang-ladang minyak banyak dibuka di kawasan tersebut. Pada masa itu, ladang minyak terbesar ada di Jabal Barama. Letaknya di sebelah timur sungai Tigris, Irak.

Demikian pula di kawasan Dir al-Qayyara, dekat Mosul. Produksi minyaknya begitu berlimpah. Sebagai gambaran, ladang minyak di Faris, Persia saja pernah mencapai angka 90 metrik ton per tahun. Tak heran, hal tersebut memberikan pemasukan sangat besar bagi negara.

Khalifah memberikan wewenang kepada pengelola yang ditunjuk untuk mengendalikan eksplorasi minyak di setiap wilayah. Selain dari penjualan, negara menerima pemasukan tambahan dari pajak minyak yang mulai diberlakukan semasa pemerintahan Khalifah al- Mansur (754-775).

Berkah minyak juga mengalir ke kas provinsi. Seperti diungkapkan sejarawan Ibnu Adam, gubernur Irak Utara, itu turut memberlakukan pajak pada industri minyak yang tumbuh subur di sana. Para penguasa menganggap ladang-ladang minyak sebagai aset strategis sehingga perlu dijaga ekstra ketat.

Produksi minyak dijual ke seluruh negeri. Para kafilah dagang membawa jeriken-jeriken besar berisi minyak dengan kereta kuda. Tujuan utamanya adalah kota-kota besar di dunia Islam. Sejarawan asal Suriah, al-Dimisqhi, menggambarkan aktivitas perdagangan minyak yang begitu ramai di Suq al-Qattarine, Damaskus. ed: ferry kisihandi
http://koran.republika.co.id/koran/36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar