Rabu, 10 November 2010

Relokasi Korban Bencana Mentawai

Relokasi Korban Bencana Mentawai
Kamis, 11 November 2010 | 02:59 WIB

Frans R Siahaan
Rencana relokasi permukiman masyarakat Mentawai di sepanjang pantai barat Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan sudah digelindingkan pemerintah.

Presiden SBY pun telah memerintahkan Gubernur Sumatera Barat dan Bupati Mentawai untuk segera mengoordinasikan rencana relokasi. Hal sama juga disampaikan oleh Staf Khusus Presiden Bidang Bencana Alam Andi Arif bahwa ”tidak ada solusi lain bagi masyarakat Mentawai untuk mencegah kejadian seperti saat ini, selain relokasi” (Koran Tempo, 30/10).
Tanpa digerakkan oleh pemerintah pun, sebenarnya relokasi mandiri atas inisiatif sendiri telah beberapa kali dilakukan masyarakat di Pulau Sipora dan Pulau Siberut dengan memindahkan kampung mereka ke tempat lebih tinggi untuk menghindari tsunami, terutama setelah terjadi gempa 2007 dan 2009.
Namun, apa pun pilihan yang akan diambil oleh masyarakat Pagai nantinya, apakah tetap tinggal di permukiman saat ini atau relokasi, haruslah berdasarkan pilihan bebas dan sadar mereka, tanpa ada paksaan sama sekali. Bagi masyarakat yang memilih tinggal di permukiman sekarang, negara wajib melindungi keselamatannya.
Pernyataan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Sumatera Barat Ade Edward bahwa ”Mentawai tidak butuh alat peringatan dini tsunami karena di wilayah ini tsunami bisa datang lebih cepat ketimbang kerja alat itu” (Koran Tempo, 29/10), tidak bisa diterima akal sehat.
Persoalannya bukan pada masalah dekat jauhnya alat peringatan dipasang, tetapi lebih pada bagaimana memberi kesempatan bagi masyarakat Mentawai bereaksi menghadapi tsunami walaupun jeda waktu yang tersedia hanya 5-15 menit. Jeda waktu yang ada akan bisa menyelamatkan lebih banyak nyawa daripada tidak ada alat peringatan dini sama sekali.
Pikiran sederhana saya, karena jaraknya yang sangat dekat dengan pusat bencana, sudah seharusnya tersedia sirene otomatis yang posisi on dan off-nya bisa jadi secara otomatis digerakkan oleh getaran gempa pada skala tertentu atau langsung berbunyi begitu gempa terjadi sebagai penanda bahaya tanpa harus menunggu laporan BMKG.
Jangan lagi seperti saat sebelum bencana, tidak ada alat peringatan dini sama sekali. Bahkan, sirene tanda bahaya sebagai alat peringatan dini paling sederhana pun tidak tersedia.
Relokasi ke mana?
Bagi masyarakat yang memilih direlokasi, yang perlu diperhatikan dengan serius adalah, pertama, relokasi sebaiknya masih di tanah milik suku mereka. Hal ini untuk menghindari konflik tanah pada kemudian hari. Pemerintah harus belajar dari banyak kasus konflik tanah yang muncul dari proyek Permukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) di Pulau Siberut awal 1980-an.
Beberapa suku yang sebelumnya tinggal di hulu atau pedalaman dipindahkan mendekat ke arah pantai yang pemilik tanahnya suku yang berbeda. Suku pemilik tanah di lokasi proyek PKMT pun tak pernah dimintai persetujuannya hitam di atas putih. Akibatnya, proyek PKMT seperti di Dusun Puro (Siberut Selatan) dan Dusun Pokai (Siberut Utara) hingga kini mewariskan konflik tanah yang tak berkesudahan antara masyarakat yang dimukimkan dan pemilik tanah di lokasi proyek PKMT. Bahkan, pemerintah (Departemen Sosial) sebagai pelaksana proyek hingga saat ini tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya.
Kedua, kalaupun tidak tersedia tanah suku yang akan direlokasi dan harus ke tanah suku lain, kepastian status tanah harus sudah jelas dan pemerintah harus bertanggung jawab jika pada kemudian hari terdapat konflik tanah di masyarakat.
Ketiga, masyarakat yang direlokasi tidak dijauhkan dari sumber-sumber penghidupannya. Masyarakat Mentawai bukanlah masyarakat nelayan seperti yang dipahami orang luar selama ini, tetapi peladang dan peramu yang sangat bergantung pada hasil hutan dan ladang (mone). Hasil mone berupa keladi (gettek) dan pisang (bagok) diolah menjadi makanan pokok.
Sementara tanaman nilam, coklat, pala, dan cengkeh dijual untuk memenuhi kebutuhan keuangan keluarga. Proyek relokasi jangan menjauhkan mereka dari mone mereka. Salah satu kegagalan proyek PKMT adalah masyarakat dijauhkan dari mone-nya, akibatnya masyarakat yang dimukimkan di sekitar pantai akhirnya kembali lagi ke perkampungan lama mereka di hulu untuk memenuhi kebutuhan pangan dan keuangan keluarga.
Keempat, masih terkait point ketiga, sedapat mungkin relokasi tidak jauh dari lokasi permukiman mereka saat ini, tetapi tetap berada di titik aman dari terjangan tsunami. Persoalannya, di pantai barat Pagai tidak semua bertopografi berbukit. Untuk masyarakat di Dusun Maonai, Pagai Selatan, misalnya, tak ada masalah. Atas persetujuan masyarakat, mereka bisa direlokasi sejauh 1,5 kilometer ke arah timur laut atau mengarah ke Gunung Simaonai—demikian masyarakat lokal menyebut—yang tingginya di atas 25 meter.
Namun, untuk masyarakat di Dusun Muntei Baru-Baru, Pagai Utara, dusun dengan jumlah korban paling banyak, topografinya relatif datar hingga landai sehingga relokasi harus menjorok lebih dalam hingga sejauh 3-4 kilometer. Ini bukan persoalan sederhana, apalagi lokasi perkampungan di atas sebagian berada di kawasan hutan atau hutan produksi sehingga kepastian pelepasan status kawasan untuk relokasi perlu segera dibicarakan dengan Kementerian Kehutanan di Jakarta, termasuk sumber kayu untuk rekonstruksi.
Pemerintah juga harus membangun akses jalan darat ke lokasi permukiman baru. Tanpa akses jalan darat dan membiarkan masyarakat tetap mengandalkan transportasi laut, dalam waktu tak terlalu lama masyarakat akan kembali pindah ke arah pantai.
FRANS R SIAHAAN Deputi Direktur Citra Mandiri Mentawai dan Relawan Lumbung Derma
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/02591843/relokasi.korban.bencana.mentawai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar