Rabu, 10 November 2010

Obama dan Islam Indonesia yang Demokratis

Obama dan Islam Indonesia yang Demokratis

Alfred Stepan, guru besar ilmu politik dan Direktur Center for the Study of Democracy, Toleration, and Religion pada Columbia University
Jeremy Menchik, kandidat doktoral pada University of Wisconsin-Madison, yang pernah tinggal selama dua tahun mempelajari Islam dan politik di Indonesia.

Kunjungan Barry Obama-nama panggilan Presiden Amerika sekarang ketika ia dulu tinggal di Indonesia--ke Jakarta sedikit-banyak dimaksudkan untuk merayakan pencapaian yang telah diraih negara mayoritas muslim terbesar di dunia ini. Dalam kurun waktu 12 tahun sejak transisinya ke demokrasi, Indonesia telah secara teratur mengadakan pemilihan umum lokal dan nasional, mengembangkan pasar bebas yang berfungsi, dan memperkokoh budaya toleransi terhadap minoritas Kristen, Hindu, Buddha, dan Cina di negeri itu.
Dari sepuluh anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN), hanya Indonesia yang meraih peringkat “bebas” dari Freedom House. Filipina yang mayoritas Katolik, Thailand yang Buddhis, dan Singapura yang Konfusian tertinggal jauh di belakang Indonesia dalam memberikan hak-hak demokrasi kepada rakyatnya. Para pembuat kebijakan di Amerika, karena itu, memandang Indonesia sebagai model bagi negara muslim di dunia.

Tapi pelajaran apa yang bisa dipetik dari demokrasi yang dipraktekkan di Indonesia? Pelajaran paling penting yang dipetik adalah bahwa organisasi-organisasi Islam di Indonesia mampu menjadi tulang punggung suatu masyarakat madani yang toleran. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), lembaga-lembaga Islam masing-masing dengan anggota lebih dari 30 juta dan 40 juta, menyelenggarakan lebih dari 10.000 sekolah dan ratusan rumah sakit serta organisasi pemuda dan gerakan wanita. Kedua-duanya punya hubungan dengan partai-partai politik yang sebagian besar dengan konsisten menyuarakan demokrasi dan menolak dibentuknya negara Islam.
Sesungguhnya, Syafi'i Ma’arif, mantan Ketua Umum Muhammadiyah, telah memberikan argumentasi membela pluralisme berdasarkan Al-Quran, menolak taklid yang membabi-buta. Abdurrahman Wahid, mantan Ketua Umum PBNU, selama puluhan tahun menganjurkan penghormatan kepada pluralisme agama, dan memobilisasi oposisi demokrasi terhadap otoritarianisme Presiden Soeharto. Seorang intelektual muslim lainnya, Nurcholish Madjid, menyerukan “de-sakralisasi” politik pada 1970-an, mengadvokasi demokrasi multi-partai pada 1990-an, dan secara pribadi menganjurkan Soeharto untuk mengundurkan diri pada 1998. Indonesia juga menunjukkan bagaimana Islam bisa memberikan dukungan kepada hak-hak wanita.
Di kalangan masyarakat aktivis di Jakarta, organisasi-organisasi yang dianggap paling berhasil adalah organisasi-organisasi yang memperoleh dukungan dari sayap-sayap organisasi Muhammadiyah dan NU, yaitu Muslimat, Fatayat, and Aisiyah. Mantan Ketua Umum Fatayat, Maria Ulfah Anshor, telah memberikan argumentasi yang jernih berdasarkan fikih agar wanita diberi akses memperoleh hak-hak reproduksi. Dan berkat kemitraan antara negara dan ulama yang sudah dimulai 40 tahun yang lalu, program keluarga berencana di Indonesia merupakan salah satu yang paling berhasil di negara-negara berkembang.
Ironisnya, AS telah menghambat upaya pegiat hak-hak wanita Indonesia ini sama kuatnya seperti dukungan yang diberikannya. Hambatan yang dilakukan mantan Presiden George W. Bush atas pendanaan program kesehatan yang menggunakan kondom dan bentuk-bentuk kontrasepsi lainnya akhirnya membuat organisasi-organisasi Islam yang menerima dana dari US Agency for International Development (USAID) tidak bisa menerbitkan materi-materi yang mempromosikan hubungan seks yang aman dan keluarga berencana.
Semua ini bisa, dan sering, berbalik sangat kontraproduktif. Dalam satu kasus yang sangat tidak masuk akal, sekelompok feminis muslim yang menulis buku yang mempromosikan hak-hak wanita berdasarkan tafsir Al-Quran terpaksa menerbitkannya secara sembunyi-sembunyi karena ia memuat argumentasi yang membela hak reproduksi wanita dan sebagian dana untuk kelompok ini diperoleh dari sebuah yayasan yang menerima bantuan dari USAID.
Bahwa organisasi-organisasi Islam telah banyak membantu kaum wanita, mungkin juga bisa menjelaskan keberhasilan wanita Indonesia di bidang politik. Parlemen negeri ini sekarang terdiri atas 18 persen wanita (persentase yang lebih tinggi dari dalam Kongres AS), dan seorang wanita, Megawati Soekarnoputri, merupakan presiden keempat negeri itu. Organisasi-organisasi yang utama, seperti Fatayat dan Muslimat, memberikan koreksi terhadap pandangan yang mengatakan bahwa hukum syariah mengenakan pembatasan terhadap wanita.
Sebenarnya, wanita Indonesia telah menunjukkan bagaimana hukum syariah bisa menjadi alat untuk melawan kebijakan yang membenci dan merugikan wanita. Misalnya, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam pada Kementerian Agama, Nasaruddin Umar, adalah seorang yang mengaku sebagai feminis muslim yang menerbitkan kritik terhadap bias gender dalam tafsir Al-Quran.
Agama meliputi hampir setiap aspek kehidupan di Indonesia, termasuk politik. Tapi partai-partai politik yang menganjurkan pelaksanaan hukum telah mengalami kemunduran dalam pemilihan umum dari 1955 sampai 2009. Partai-partai yang masih mendukung hukum syariah sebagian besar telah turun dari panggung politik atau mengubah platform mereka. Bukannya untuk mengambil alih negara, partai-partai ini telah mengubah kebijakan mereka dengan memperhitungkan pluralisme yang berkembang di Indonesia.
Mungkin jalan terbaik untuk membantu umat Islam bukan dengan berupaya mencangkokkan lembaga-lembaga dari Indonesia ke Timur Tengah, atau memberikan bantuan kepada kaum moderat “yang didukung Amerika”, melainkan cukup dengan lebih dekat mendengarkan suara Islam Indonesia.
Tapi ini sulit dilakukan. Hampir tidak ada satu pun tulisan para intelektual yang krusial dalam penegakan demokrasi dan hak wanita di Indonesia--misalnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, Syafi’i Ma’arif, Siti Musdah Mulia, dan Maria Ulfah Ansor--telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Mungkin, lebih menyedihkan lagi, tidak satu pun yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. *
Hak cipta: Project Syndicate, 2010.
Mungkin jalan terbaik untuk membantu umat Islam bukan dengan berupaya mencangkokkan lembaga-lembaga dari Indonesia ke Timur Tengah, atau memberikan bantuan kepada kaum moderat “yang didukung Amerika”, melainkan cukup dengan lebih dekat mendengarkan suara Islam Indonesia.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/10/Opini/krn.20101110.217578.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar