Rabu, 10 November 2010

Indonesia yang Berduka

Indonesia yang Berduka

Asep Purnama Bahtiar, Kepala Pusat Studi Muhammadiyah dan Perubahan Sosial Politik UMY
Ada tiga pandangan tokoh bangsa ini yang relevan dikutip untuk lebih membangun empati atas kondisi Indonesia akhir-akhir ini, terutama ketika bencana alam menerpa kita secara bertubi-tubi. Mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Amien Rais pernah mengingatkan, rakyat Indonesia yang mengalami frustrasi sosial ekonomi itu seperti rumput kering yang mudah terbakar. Lalu Buya Syafii Maarif menyebut Indonesia sebagai negeri yang tak putus dirundung malang. Kemudian Prof Teuku Jacob menyindir tajam tentang kebobrokan Indonesia dengan ungkapan bahwa Hang Bejat ada di mana-mana.

Pernyataan-pernyataan itu pada dasarnya menunjukkan keprihatinan dan kepedulian yang mendalam atas nasib kebanyakan rakyat Indonesia yang belum beruntung dan hidup secara layak. Sementara itu, kalangan tertentu dan para elite (politik khususnya), baik nasional maupun lokal, hidup dalam keberlimpahan dan kemewahan yang minus empati atas nasib rakyat yang didera derita--seperti oleh bencana alam sekarang ini.
Bayangkan saja, ketika bangsa ini prihatin dan berkabung atas bencana alam banjir bandang dan tsunami yang menimpa saudara-saudara di Wasior dan Mentawai serta letusan Gunung Merapi di Daerah Istimewa Yogyakarta-Jawa Tengah, sebagian elite politik yang bercokol di Dewan Perwakilan Rakyat malah asyik "pelesiran" ke luar negeri. Ketidakpedulian elite politik itu sontak saja mengundang komentar pedas dari banyak kalangan. Mantan Rektor Universitas Diponegoro Eko Budiharjo, sebagaimana dikutip harian ini, menyindir sikap anggota DPR itu dengan ungkapan, "Kalau bodoh, itu tidak tahu. Tapi, kalau pandir, itu tahu tapi tidak peduli" (Koran Tempo, 1 November 2010).
Tragika bencana
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Indonesia sedang berduka. Ketika bencana alam terjadi bertubi-tubi di negeri ini dengan korban jiwa, kerugian harta benda, dan kerusakan lingkungan tak terkira, justru orang-orang yang dipilih untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang diwakilinya di Senayan pura-pura tidak tahu--menutup mata dan telinga serta mengunci hati dan akal sehatnya. Karena itulah, di antaranya, bencana alam bisa menjadi petaka yang berlipat-lipat ganda dan jadilah tragika bencana. Padahal makna bencana itu sendiri sudah menyiratkan ketidaknyamanan dan kekhawatiran.
Bencana, menurut Anthony Oliver-Smith, mencakup kombinasi agen potensial yang bersifat destruktif dari lingkungan alami atau lingkungan teknologis atau gabungan kedua-duanya sekaligus yang mengakibatkan kerentanan bagi manusia. Kombinasi dari dua elemen bencana ini menghasilkan kehancuran atau hilangnya elemen-elemen sosial yang teratur dan fasilitas-fasilitas fisik yang dimiliki masyarakat hingga sampai pada tingkatan yang merusak fungsi-fungsi esensialnya. Kondisi ini kemudian menimbulkan tekanan pada kehidupan individu dan kelompok serta memunculkan berbagai disorganisasi sosial.
Bencana alam saja sudah merupakan suatu petaka yang menimbulkan penderitaan dan mara bahaya bagi kehidupan manusia dan lingkungannya itu, kemudian semakin tragis karena diperparah oleh sikap dan tindakan yang tidak wajar. Hal inilah yang mencuatkan tragika bencana, yakni bencana alam yang sudah menebar mala dan maut pada orang-orang yang tertimpa itu kemudian diperparah lagi dengan dua hal.
Pertama, ketidakpedulian kalangan elite untuk membantu dan bersikap empati terhadap korban bencana alam. Seperti disinggung di atas, di musim bencana ini beberapa komisi DPR lebih mementingkan studi banding (baca: pelesiran) ke luar negeri daripada ikut berpartisipasi dalam menangani korban bencana alam. Belum lama ini juga terbetik berita, Gubernur Sumatera Barat melakukan kunjungan ke Jerman ketika musibah tsunami di Kepulauan Mentawai belum selesai ditangani.
Kedua, bantuan yang tidak tulus kepada para korban. Sudah menjadi rahasia umum bahwa masih saja banyak pihak dan posko bantuan bagi korban bencana yang ingin mendulang simpati dan menabung jasa, baik yang berbendera partai politik maupun yang berafiliasi pada partai politik tertentu. Bantuan diberikan dengan bersyarat, misalnya, harus memasang spanduk dan banner besar dari lembaga yang membuka posko atau yang memberikan bantuan bagi korban bencana.
Ketiga, penyebaran pesan pendek (SMS) gelap yang berisi rumor akan terjadi gempa besar di Yogya serta pemberitaan di media massa elektronik yang berlebihan dan mendramatisasi situasi bencana alam semakin menambah ketakutan dan beban psikologis korban. Sebagai contoh, tayangan infotainmen "Silet" di RCTI (7 November 2010) mengabarkan berita sensasi tentang ramalan Gunung Merapi yang akan meletus lagi dengan lebih dahsyat. Informasi yang mengedepankan sensasi dengan suara presenter yang dikesankan sedemikian rupa dan diiringi ilustrasi musik yang mencekam itu bukan hanya telah mengabaikan etika jurnalistik, tapi juga tidak mengindahkan rasa perikemanusiaan.
Yang semestinya
Bahwa ada hikmah dari bencana alam yang terjadi tentu ungkapan tersebut tidak bisa dimungkiri kebenarannya. Kendati pada sisi lain orang bisa saja menyebut hal ini sebagai sikap yang lebih bersifat kepasrahan dan ketidakberdayaan manusia untuk menghibur dan mengobati jiwa yang dirundung duka. Bagi kita, dampak buruk dan kerusakan akibat bencana itulah yang harus menjadi prioritas untuk segera ditangani.
Karena itu, bencana alam, misalnya yang sudah menebar mala dan merenggut jiwa, jangan sampai ditambah lagi dengan sikap dan tindakan yang menambah luka dan derita para korban. Begitulah bencana, tanpa menafikan lingkungan dan habitat makhluk lainnya, yang paling menjadi korban dari setiap bencana adalah manusia, baik sebagai individu maupun dalam sistem sosial-budaya-ekonominya. Sifat bencana alam yang sulit diprediksi secara pasti kapan terjadinya dan seberapa dahsyat daya rusaknya kian menunjukkan betapa ia tidak bisa dianggap remeh dan disikapi sepele.
Dengan demikian, hal itulah yang semestinya disadari oleh siapa saja, terutama ketika memberikan bantuan tanggap darurat dan program rehabilitasi dan rekonstruksi pada tahap selanjutnya seusai terjadinya bencana alam. Dalam hal ini, setidaknya ada dua kemestian yang perlu menjadi kesadaran dan sikap bersama, di mana saja dan kapan saja, ketika bencana alam terjadi. Dua kemestian ini adalah membiasakan empati dan merawat solidaritas.
Membiasakan empati atas kondisi dan musibah yang menimpa orang lain merupakan sikap positif awal untuk menghormati para korban. Secara leksikal, empati (empathy) adalah proyeksi kepribadian seseorang terhadap kepribadian orang lain agar bisa memahami kepahitan seseorang; kemampuan untuk berbagi dalam emosi, pikiran, dan perasaan orang lain. Dengan empati inilah kita bisa ikut merasakan penderitaan dan kesusahan para korban bencana alam, kendati kita tidak mengalaminya, kemudian mendorong kita untuk membangun solidaritas.
Bila empati baru sebatas sikap dan kesadaran untuk masuk merasakan penderitaan orang lain, solidaritas sosial menjadi bentuk aktualisasinya. Tindakan untuk merawat kebersamaan dan keutuhan jiwa masyarakat dari beragam individu yang mudah pecah dan bertikai menjadi sangat berarti ketika bencana alam terjadi. Dukungan moril, bantuan dana, sumbangan pangan dan sandang, dan tempat tinggal sementara serta partisipasi tenaga dan kontribusi doa tidak diragukan lagi nilai guna dan fungsi kemanusiaannya untuk memenuhi kebutuhan fisik dan mental para korban bencana.
Dua upaya tersebut tentu saja membutuhkan keterlibatan dan semua komponen bangsa, apalagi dari pemerintah. Dalam konteks ini pula negara dan pemerintah (pusat dan daerah) harus serius dan sungguh-sungguh dalam mengalokasikan anggaran yang cukup untuk penanganan bencana alam serta memperkuat kapasitas badan penanggulangan bencana--sebagai institusi resmi negara--baik di tingkat nasional maupun lokal.
Sifat bencana alam yang sulit diprediksi secara pasti kapan terjadinya dan seberapa dahsyat daya rusaknya kian menunjukkan betapa ia tidak bisa dianggap remeh dan disikapi sepele.
http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/10/Opini/krn.20101110.217576.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar