Rabu, 10 November 2010

’Panggil saya pak haji’

Thursday, 11 November 2010
’Panggil saya pak haji’ 
SETIAP musim haji tiba, saya teringat kisah teman saya yang anak seorang petinggi tingkat kabupaten. Suatu hari ada seorang yang datang meminta sumbangan untuk sebuah acara keagamaan, entah disengaja atau tidak, dalam proposal nama petinggi tersebut tidak diembel-embeli H (haji), anaknya yang menerima proposal tersebut bertanya, apa betul proposal ini ditujukan kepada bapaknya, sebab kalau nama bapaknya ada titel haji di depannya.
Kisah nyata ini atau kisah yang sejenis mungkin terjadi di mana dan kapan saja, hal yang sama juga terjadi dengan penulisan titel akademik. Gelar haji atau gelar akademik bagi sebagian orang mungkin mempunyai arti yang sangat penting karena diperoleh dengan tidak cuma-cuma tetapi dengan perjuangan dan biaya tidak sedikit, sehingga pencantumannya di depan nama menjadi sangat penting. Hal ini tidak lepas dari pengaruh kolonialis Belanda yang membedakan status sosial masyarakat, antara priyayi, rakyat dan pejabat.
Kalau dulu gelar raden menjadi status sosial yang dibanggakan, sekarang gelar haji menjadi sebuah kebanggaan karena tidak semua orang bisa menunaikan ibadah haji. Karena itu pula haji menjadi salah satu ibadah yang paling diinginkan untuk dilaksanakan, terutama oleh orang-orang yang punya kelebihan harta benda, meskipun kadang-kadang ibadah yang lain seperti shalat, puasa, zakat, sodakoh dan lain-lain tidak mereka pahami dan tidak pernah mereka laksanakan.
Status sosial
Ibadah haji adalah ibadah yang khusus, dilaksanakan pada waktu dan tempat yang khusus yaitu pada bulan Dzulhijjah di Makkah dan sekitarnya. Disebutkan dalam hadits Nabi bahwa inti ibadah haji adalah wukuf di Padang Arafah yang dilaksanakan pada tanggal 9 Dzulhijjah yaitu satu hari sebelum Idul Adha. Ibadah haji juga diwajibkan kepada orangorang yang khusus, yaitu orang-orang yang mampu melaksanakan perjalanan ke Makkah (QS. Ali Imron: 97).
Karena sifatnya yang khusus itulah, ibadah haji menjadi sangat istimewa bagi kebanyakan kaum muslimin, karena dianggap menjadi penyempurna rukun Islam seseorang, sehingga ada pandangan apabila belum haji seolah-olah belum sempurna keislaman seseorang.
Maka mnjadi pemandangan yang lazim apabila ada orang yang akan berangkat haji, seluruh kerabat, teman dan tetangga berbondong-bondong untuk memberi penghormatan yang sebaikbaiknya.
Karena pandangan yang seperti itu serta ditambah dengan adanya pencantuman gelar haji di depan nama seseorang yang telah melaksanakan ibadah haji menjadi daya tarik seseorang untuk menggantungkan cita-citanya menjadi seorang haji.
Sebetulnya pencantuman nama haji tidak selalu negatif, bahkan bisa menjadi kontrol bagi seseorang dalam tingkah laku sehari-hari, di mana seorang haji harus bisa memberikan teladan yang baik bagi masyarakat mengingat gelar haji di depan namanya.
Namun alih-alih memberi teladan yang baik, banyak orang yang telah berhaji merasa punya status sosial dan kealiman yang lebih dari masyarakat pada umumnya sehingga gelar haji bagi mereka merupakan kebanggaan yang harus selalu melekat di depan namanya. Mungkin hal ini karena terjadi hanya pada ibadah haji, maka menimbulkan ekses yang tidak selamanya baik, seperti perasaan lebih Islam, lebih alim, dan merasa lebih dekat kepada Allah SWT dibandingkan dengan orang-orang yang belum haji.
Bila dibandingkan dengan ibadah lainnya seperti shalat, puasa, zakat dan lain-lain, kedudukan haji sama saja di depan hukum Islam, namun dalam ibadah yang lain tidak dicantumkan gelar. Misalnya orang yang rajin shalat tidak dipanggil ”bapak shalat”, orang yang rajin berpuasa tidak dipanggil ”bapak puasa” demikian pula orang yang membayar zakat tidak dipanggil ”pak zakat” dan sebagainya.
Haji mabrur
Ibadah dalam Islam pada prinsipnya terbagi menjadi dua bagian penting, yaitu ibadah mahdlah dan ibadah ghairu mahdlah (ijtimaiyyah). Ibadah mahdlah adalah ibadah yang dimensi ritualnya lebih menonjol seperti shalat, haji, puasa, zikir, membaca Alquran dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah ghairu mahdlah adalah ibadah yang dimensi sosialnya lebih besar, seperti zakat, sadaqah, berbuat baik kepada sesama manusia dan lain-lain.
Meskipun demikian semua ibadah tersebut mempunyai satu tujuan yaitu mengharapkan ridlo Allah SWT dan bila ditelisik lebih dalam, masing- masing ibadah mempunyai keistimewaan sendiri-sendiri, shalat misalnya bisa mencegah dari perbuatan jelek dan tercela (QS al Ankabut 45), puasa bisa meningkatkan derajat menjadi takwa (QS Al Baqoroh 183), haji yang mabrur pahalanya adalah surga (Hadits Nabi), sadaqoh bisa menolak balak (Hadits Nabi), dan sebagainya.
Dan salah satu daya tarik orang untuk melaksanakan ibadah haji adalah pahala berupa surga itu apabila hajinya bisa mabrur (baik). Pemahaman haji mabrur adalah ketika haji dilaksanakan sesuai dengan syarat dan rukunnya serta hal-hal yang bersifat fardlu, wajib, dan sunnahnya dilakukan dengan baik, demikian pula pemahaman perihal ibadahibadah yang lain.
Namun demikian, pada hakikatnya ibadah dalam Islam sebetulnya sebagai media pelatihan dan ujian bagi umat Islam, apakah mereka termasuk orang yang taat atau tidak, penilaian yang sebenarnya adalah ketika kita sudah selesai melaksanakan ibadah tersebut dengan benar.
Puasa misalnya, adalah media pelatihan bagi umat Islam untuk melatih disiplin, jujur, taat kepada aturan agama, bila selama sebulan penuh orang yang berpuasa bisa meninggalkan sesuatu yang dihalalkan karena melaksanakan perintah Allah maka apakah mereka mampu meninggalkan sesuatu yang diharamkan Allah di luar bulan Romadlon, maka penilaian bagi orang yang berpuasa untuk bisa mencapai derajat takwa atau tidak adalah tingkah lakunya selama sebelas bulan selain Ramadan.
Demikian juga dengan ibadah haji, mabrur atau tidaknya haji seseorang dinilai sejauh mana tingkah lakunya sesudah bergelar haji, meskipun seseorang bergelar haji sampai tujuh kali namun apabila perbuatannya jauh dari tuntunan agama dan menyimpang dari normanorma sosial yang baik, maka kemabruran hajinya patut dipertanyakan. Apalagi bila niatnya berhaji untuk mengatrol status sosial, karena niat karena Allah adalah syarat diterimanya suatu ibadah.
Ibadah haji sebagai ibadah yang menuntut banyak hal dalam pelaksanaannya seperti harta benda yang banyak, kesehatan fisik dan mental serta niat yang tulus karena Allah SWT sudah selayaknya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Allah dan tuntunan Rasul-Nya, bukan dijadikan sebagai pendongkrak status sosial atau biar dianggap sebagai orang yang lebih baik dan alim serta mendapat pujian banyak orang, sebagaimana yang terjadi pada teman saya yang tersinggung ketika nama bapaknya tidak diberi gelar haji di depannya. Wallahu A’lam  f Abdul Hakim Guru MANU Batang
http://www.wawasandigital.com/index.php?option=com_content&task=view&id=42806&Itemid=62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar