Rabu, 10 November 2010

Main Siksa Informan Sigi

Main Siksa Informan Sigi

Sabtu, 06 November 2010 | 01:25 WIB
Kepolisian Republik Indonesia tak boleh membiarkan kesewenang-wenangan ini. Jika benar ada penyiksaan terhadap narapidana yang menjadi narasumber SCTV, kasus ini harus diusut tuntas. Bukan cuma membungkam hak orang untuk bicara, main siksa juga melanggar hak asasi manusia.

Publik juga menanti penjelasan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar. Benarkah dua narapidana Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, telah disiksa dan diasingkan di ruangan khusus? Salah seorang di antaranya bahkan dikabarkan sampai dilarikan ke Rumah Sakit Polri, Kramatjati. Kasus ini tak bisa dianggap sepele, apalagi penyiksaan diduga berkaitan dengan pengakuan mereka tentang adanya bisnis seks di penjara yang disampaikan kepada jurnalis SCTV.

Menteri Patrialis mestinya paham, kasus ini justru akan semakin mencoreng kementerian yang dipimpinnya. Kementerian Hukum sebelumnya telah disorot masyarakat karena diduga menekan manajemen SCTV agar tak menyiarkan mata acara Sigi bertajuk "Bisnis Seks di Balik Jeruji". Upaya ini gagal setelah diributkan kalangan pers. Liputan Sigi akhirnya ditayangkan di stasiun televisi ini pada 27 Oktober lalu.

Pak Menteri tentu mengerti pula bahwa hak-hak narapidana harus tetap dilindungi. Mereka memang tak bebas lagi seperti warga negara biasa. Tapi hak mereka untuk berbicara dan bebas dari segala bentuk penyiksaan tidaklah terhapus. Demi kepentingan publik, media massa pun boleh menggunakan informan atau narasumber di mana saja, tak terkecuali di dalam rumah tahanan.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers bahkan mendorong media memainkan peran yang lebih besar dalam "memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi". Lewat liputan Sigi, publik menjadi tahu apa yang sesungguhnya terjadi sehingga bisnis seks tumbuh subur di penjara. Liputan ini semestinya malah bisa digunakan Kementerian Hukum sebagai bahan untuk membersihkan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.

Bukan hanya bisnis pelacuran yang leluasa terjadi di penjara. Transaksi narkoba pun seolah dibiarkan. Kasus Artalyta Suryani, yang mendapat fasilitas istimewa dan bisa mengendalikan bisnisnya dari balik jeruji, juga merupakan potret lain dari kebobrokan manajemen rumah tahanan kita. Tak perlu ditutup-tutupi, praktek kotor ini seharusnya segera dibasmi.

Jika Menteri Patrialis memang tak terlibat sama sekali dalam kasus intervensi SCTV, seharusnya ia memberikan sanksi berat terhadap bawahannya yang lancang. Begitu pula mengenai kasus penyiksaan narapidana. Pak Menteri harus menindak tegas petugas dan kepala penjara yang terlibat dalam penganiayaan ini.

Ia berkepentingan pula melaporkan dua kasus ini ke polisi. Tanpa adanya tindakan apa pun justru semakin menguatkan kesan masyarakat bahwa Pak Menteri tidak bisa dilepaskan dari rentetan kejadian ini.

Itulah pentingnya polisi segera turun tangan untuk membongkar dua kasus memalukan di Kementerian Hukum ini. Kepolisian RI harus menunjukkan kepada publik bahwa hukum negeri ini berlaku bagi semua orang, tanpa pandang bulu.
http://www.tempointeraktif.com/hg/opiniKT/2010/11/06/krn.20101106.217222.id.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar