Rabu, 10 November 2010

Ujian bagi Timur Pradopo

TAJUK RENCANA
Kamis, 11 November 2010 | 02:58 WIB

Ujian bagi Timur Pradopo
Bisa keluarnya Gayus Tambunan, terdakwa kasus pajak, dari Rumah Tahanan Brimob sungguh keterlaluan! Itu tamparan bagi kepolisian!

Skandal keluarnya Gayus tertangkap kamera wartawan ketika orang berwajah mirip Gayus menyaksikan pertandingan tenis di Bali. Gayus sendiri membantah telah meninggalkan Rutan Brimob. Sebagaimana dikutip media massa, Gayus mengatakan, ”Enggak. Saya di dalam saja. Orang penjaranya digembok, gimana bukanya.”
Bantahan Gayus itu berbeda dengan keterangan Mabes Polri. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Iskandar Hasan mengatakan, Gayus meminta izin berobat tapi tidak pulang-pulang, Setelah dicari, Gayus diketahui pulang ke rumahnya di Kelapa Gading. ”Ia lalu dijemput anggota yang mengawal,” kata Iskandar (Kompas, 9 November 2010).
Dalam keterangan pers Selasa, Mabes Polri mengakui ada kelalaian dari sembilan anggota polisi, termasuk Kepala Rutan Komisaris IS. Mereka dibebastugaskan untuk kepentingan penyelidikan. Melalui pengacaranya, Adnan Buyung Nasution, hari Rabu, akhirnya Gayus mengakui keluar dari rutan untuk berobat, yang sebelumnya dia bantah.
Hebatnya, keluarnya Gayus dari tahanan tidak mendapat izin dari ketua majelis hakim yang sedang menyidangkan perkara. Penasihat hukumnya pun mengaku tidak mengetahui perilaku Gayus. Kepercayaan diri Gayus yang luar biasa paling tidak menunjukkan betapa kuatnya jaringan Gayus di jajaran penegak hukum atau ada kekuatan lain yang mendukungnya. Kemampuan Gayus meloloskan diri dari jerat korupsi atau pencucian uang di Pengadilan Tangerang dengan kekuatan uang yang dimilikinya mengonfirmasi betapa kuatnya jaringan tersebut.
Kita prihatin sekaligus gusar dengan masih adanya praktik itu. Kita telah gagal menjadi bangsa pembelajar. Kita teringat pada tahun 1996, terpidana kasus korupsi Rp 1,3 triliun Eddy Tansil juga keluar dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang dan melarikan diri ke luar negeri. Lalu apa bedanya era Orde Baru dengan sekarang, ketika uang masih bisa membeli segalanya. Dengan uang, kita bisa membeli fasilitas di penjara, membeli pasal, membeli keadilan. Inilah awal dari kehancuran dengan hukum.
Atas dasar itu, kita menyambut baik langkah Polri menyelidiki skandal Gayus dengan membebastugaskan sejumlah anggota Polri yang diduga bertanggung jawab. Namun, kita berharap penyelidikan kasus ini tidak hanya akan mengorbankan petugas di tingkat bawah, seperti dalam kasus Eddy Tansil tahun 1996 yang mengorbankan Kepala LP Cipinang dan sipir penjara pada waktu itu.
Kita memandang ini adalah momentum sekaligus ujian bagi Kapolri Jenderal Timur Pradopo merealisasikan janjinya membersihkan polisi sekaligus memulihkan kepercayaan publik kepada polisi. Agar kredibilitas penyelidikan bertambah, kita mau mengusulkan agar ada unsur di luar kepolisian dilibatkan dalam penyelidikan itu. Usul itu kita sampaikan justru karena tertangkap adanya keraguan publik apakah polisi mau membongkar boroknya sendiri.


***
Obama Ingatkan Pancasila
Kunjungan Presiden AS Barack Obama ke Indonesia tak hanya bernostalgia, tetapi juga mengangkat tinggi nilai Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila.
Apresiasi terhadap Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika disampaikan Obama kemarin dalam pidato di depan ribuan undangan lintas generasi di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. Suara Obama terasa lantang di tengah senyapnya suara perbincangan tentang makna Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat toleransi di kalangan masyarakat Indonesia sendiri, lebih-lebih belakangan ini.
Beberapa tahun terakhir perbincangan tentang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat toleransi beragama memang terkesan ogah-ogahan. Kalaupun dibicarakan, lokasinya terdesak jauh ke tempat sepi, jauh dari pesona panggung. Atas pidato Obama yang mengapresiasi Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat toleransi, tidak sedikit pendengar yang setengah tersipu-sipu bergumam, mengapa bangsa Indonesia sendiri tidak melihat, memelihara, dan menjaga nilai luhur yang dimilikinya.
Bagi Obama yang pernah menghabiskan sebagian masa kecilnya di Jakarta, semangat toleransi beragama di Indonesia tidak hanya tertulis dalam undang-undang, tetapi dijalankan secara langsung oleh seluruh masyarakat, seperti terlihat pada rumah-rumah ibadah berbagai agama yang bisa berdiri berdampingan.
Secara khusus Obama membandingkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika dengan semboyan serupa di AS yang berbunyi, E pluribus unum, berbeda-beda tetapi satu. Obama yang sesekali menyisipkan kata-kata Indonesia dalam pidatonya menyatakan, prinsip Bhinneka Tunggal Ika telah menyatukan ribuan pulau dan berbagai suku dari Sabang sampai Merauke, dari Aceh sampai Papua.
Dengan menjaga modal pluralisme dan toleransi beragama yang dimiliki, Indonesia menurut keyakinan Obama akan berpengaruh penting dalam abad ke-21. Senada dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Obama juga mengapresiasi transformasi politik di Indonesia, dari sistem otoriter ke sistem demokrasi.
Apresiasi diberikan pula untuk bidang ekonomi, lebih-lebih karena Indonesia menjadi anggota negara-negara ekonomi utama dunia yang bergabung dalam Grup 20 (G-20). Obama juga terkesan atas pembangunan fisik Indonesia, khususnya Jakarta. Ketika meninggalkan Indonesia 40 tahun lalu, gedung tinggi di Jakarta bisa dihitung dengan jari. Kini bertebaran di mana-mana.
Jelas pula, kunjungan Obama ke Jakarta yang digambarkannya sebagai pulang kampung tidak hanya bersifat nostalgia, tetapi juga bertujuan meningkatkan kerja sama dan kemitraan strategis AS-Indonesia dalam mendorong pembangunan, demokrasi, dan semangat pluralisme bagi kepentingan kedua bangsa dan kemanusiaan.
http://cetak.kompas.com/read/2010/11/11/02584368/tajuk.rencana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar