Rabu, 10 November 2010

Teror Informasi Liputan Televisi

Teror Informasi Liputan Televisi

Kamis, 11/11/2010 09:00 WIB - Anton Prasetyo

Alumnus Komunikasi dan
Penyiaran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Dalam sehari penulis mendapat telepon dari keluarga sebanyak enam kali. Inti telepon tersebut adalah menanyakan keselamatan penulis yang bermukim di Yogyakarta, terkait dengan erupsi Gunung Merapi. Usut punya usut, keluarga yang tinggal di luar Yogyakarta jauh lebih khawatir dibandingkan dengan penulis yang merasa aman tenteram berada di Yogyakarta. Keluarga merasa khawatir karena melihat tayangan televisi yang menunjukkan seluruh wilayah Yogyakarta terancam bencana akibat erupsi Gunung Merapi.
Kisah singkat penulis di atas hanyalah gambaran terhadap tanggapan pemirsa televisi atas berita yang disuguhkannya. Mereka sangat terprovokasi dengan adanya tayangan yang ada. Atas liputan tersebut, maka menjadi tidak heran jika Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sempat mengkritik liputan yang ada. Dirinya mengaku bahwa secara langsung dirinya melihat siaran mengagetkan tersebut hingga pukul 03.00 WIB. Dirinya mengatakan bahwa berita tersebut tidak benar, kalau awan panas sampai di kilometer enam atau sekitar 30 kilometer dari puncak Gunung Merapi alias seluruh warga Yogyakarta terkena awan panas.
Di samping itu, tak heran pula jika jaringan relawan di Yogyakarta merasa keberatan dengan berita di stasiun televisi. Berita yang ada terkesan berlebihan hingga menimbulkan kepanikan para korban bencana. Banyak dari pengungsi menjadi korban bukan karena adanya awan panas menghampirinya, namun karena kepanikan mereka saat berita ditayangkan sehingga mereka kehilangan keseimbangan. Dari sini, tak heran jika jaringan relawan tersebut mengirimkan surat terbuka kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas kritik terhadap berita yang ada.
Dalam beberapa media cetak dan elektronik diberitakan bahwa Aryo Bilowo sebagai wakil relawan pada Minggu, 17 November 2010, mengatakan bahwa dengan adanya berita di televisi yang tidak akurat menambah keadaan tidak kondusif. Relawan yang ada di posko, yang notabene berhadapan langsung dengan warga, merasa kewalahan. Para relawan kesusahan menenangkan warga yang panik dan ingin pergi dari barak pengungsian ke tempat yang lebih aman.
Di sinilah media televisi kita bukan lagi berperan sebagai media informasi yang berfungsi sebagai peringatan dini (early warning system). Televisi berubah fungsi sebagai media massa teror yang membahayakan keselamatan pemirsanya. Akurasi pemberitaan yang meskinya menjadi salah satu prioritas seakan dimentahkan dengan kecepatan berita. Padahal, kecepatan berita tanpa didasari kebenaran sama saja dengan pembohongan publik.
Orientasi Kepentingan
Menjadi pertanyaan besar sekarang adalah, bentuk berita seperti apakah yang meskinya disuguhkan pihak media (televisi) kepada masyarakat? Haruskah media massa dalam memberitakan kabar kepada masyarakat ditunda-tunda terlebih dahulu guna memperoleh data yang sangat sahih? Tentu saja jawabannya bukan demikian. Media massa meski dituntut untuk benar dalam memberitakan juga tidak meninggalkan kecepatan. Kecepatan dan ketepatan adalah dua komponen yang harus ada sehingga berita dikatakan baik. Namun demikian, semua tak lepas dari faktor kepentingan.
Dalam sebuah berita memiliki sekian banyak kepentingan. Kepentingan jurnalistik murni, bisnis (ekonomi), politik, pencitraan diri (image building) lembaga dan lain sebagainya. Berakar dari sinilah bentuk berita dalam sebuah stasiun televisi tak bisa diseragamkan. Semua media memiliki prioritas kepentingan masing-masing. Selain mereka mengemban amanah dari sponsor dan atau iklan yang banyak membantu dana juga ingin membangun citra diri lembaga. Dengan adanya berita yang cepat dan terkesan hebat menjadikan citra media semakin meningkat.
Kendati orientasi kepentingan menjadi bagian sebuah lembaga media penyiaran, publik juga memiliki kepentingan. Di samping itu publik memiliki hak untuk mendapatkan berita sesuai dengan kebutuhan mereka. Sebagai misal, ketika terjadi erupsi Gunung Merapi, selain publik membutuhkan berita cepat dan tepat juga membutuhkan solusi atas bahaya yang ditimpanya. Dengan adanya berita yang cepat, tepat dan solutif dipastikan para korban bencana juga pemirsa berita akan merasa lebih tenang dari yang seharusnya.
Berbeda ketika dalam berita seakan dibesar-besarkan dan terkesan didramatisasi. Berita semacam ini hanya akan menjadikan para korban semakin panik yang mengakibatkan mereka tidak memiliki keseimbangan dan berakhir pada petaka kepanikan. Belum lagi akibat bagi pemirsa yang lain, mereka akan merasakan kesedihan yang mendalam saat bencana yang ada dibesar-besarkan juga korbannya terus didramatisasi hingga terlihat sangat memilukan.
Simaklah dalam pemberitaan bencana yang selama ini terjadi di Indonesia. Bukan hanya meletusnya gunung Merapi atau tsunami di Mentawai. Banyak kejadian bencana semisal gempa bumi 2006 di Yogyakarta dan tsunami 2004 di Nanggroe Aceh Darussalam, semua terkesan dibesar-besarkan. Bagaimana tidak, berita tersebut menampilkan jenazah korban musibah yang mengenaskan, musnahnya bangunan kebutuhan primer kehidupan manusia dan semacamnya. Penayangan ini bukan hanya sekali atau dua kali melainkan berkali-kali. Satu gambar video yang mengerikan bisa diputar berhari-hari dan dalam sehari tidak cukup dengan tiga kali penayangan.
Jika saja media massa kita (baca: televisi) akan terus seperti ini, berarti media massa kita sudah kehilangan fungsinya. Media massa yang meskinya melayani publik dengan berita-berita yang dapat diambil manfaatnya, karena hanya memprioritaskan kepentingan sepihak menjadikan berita yang ada mentah, bahkan menjadi “teror” bagi masyarakat. Untuk itu, penomorsatuan atas kepentingan publik dalam pemberitaan haruslah ditegaskan dan ditegakkan. Dengan begitu diharapkan berita yang ada akan menempati fungsinya secara benar. Wallahu a’lam. (***)
http://harianjoglosemar.com/berita/teror-informasi-liputan-televisi-28912.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar