Selasa, 09 November 2010

Politisasi Identitas Gelar Pahlawan

Politisasi Identitas Gelar Pahlawan PDF Print
Tuesday, 09 November 2010
Siapakah pahlawan itu? Pahlawan— demikian Oxford Advanced Learner’s Dictionary 7th Edition (2010) menguraikan— adalah seseorang, secara khusus laki-laki, yang dikagumi oleh banyak orang karena melakukan suatu tindakan yang berani atau baik.
Jika terminologi secara leksikal ini dijadikan rujukan, banyak sekali orang (lelaki maupun perempuan) yang layak dianggap sebagai pahlawan. Masyarakat tidak perlu mengusulkan kepada pemerintah tentang siapa yang pantas menjadi pahlawan.Pemerintah bahkan tidak perlu repot mengeluarkan surat pernyataan tentang kepahlawanan seseorang. Jadi, gelar pahlawan tidak perlu diresmikan secara formal dengan melibatkan kerumitan birokrasi negara yang sangat mencekam. Fenomena birokratisasi pahlawan itulah yang melingkupi sosok mantan Presiden Soeharto sehingga kontroversi yang tidak pernah usai selalu terjadi ketika kita memperingati Hari Pahlawan 10 November.Figur mantan Presiden Soeharto telah menjadi bahan perdebatan yang melelahkan sejak 2008.

Ada pihak yang menyatakan Soeharto layak diberi gelar pahlawan karena dianggap memberikan banyak jasa bagi negeri ini. Sementara itu, ada pihak lain yang menganggap Soeharto tidak layak diberi gelar penuh kemuliaan itu karena dipandang terlibat dalam sekian banyak tragedi berdarah dan perilakunya koruptif. Tapi, terdapat persoalan yang lebih krusial daripada sekadar mempersoalkan Soeharto layak diangkat sebagai pahlawan atau bukan. Problem itu berkaitan sangat erat dengan politisasi identitas gelar pahlawan.

Sebagaimana dikemukakan Sekretaris Kabinet Dipo Alam, hingga saat ini muncul sepuluh nama yang diusulkan menjadi pahlawan mewakili sejumlah provinsi.Kesepuluh nama itu, seperti diberitakan SINDO, 19 Oktober 2010, adalah Ali Sadikin (Jawa Barat), Habib Sayid Al Jufrie (Sulawesi Tengah),Soeharto (Jawa Tengah), KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur), Andi Depu (Sulawesi Barat), Johanes Leimena (Maluku), Abraham Dimara (Papua), Andi Makkasau (Sulawesi Selatan),Pakubuwono X (Jawa Tengah), dan Sanusi (Jawa Barat).

Secara sekilas, upaya pemberian gelar pahlawan terhadap semua profil tersebut adalah peristiwa yang wajar. Mereka diberi penghargaan atas dasar tempat (provinsi) kelahiran,prestasi yang berhasil ditorehkan, dan ragam etnisitas yang terdapat di Indonesia. Namun, dari titik mula semacam itulah, politisasi terhadap identitas gelar pahlawan dicuatkan. Identitas, yang bermakna sebagai identifikasi pada sesuatu yang dianggap substansi yang tidak pernah bisa tergoyahkan (asal kelahiran, prestasi, dan etnisitas), selalu dilekatkan untuk menegaskan arti heroisme.

Politik Representasi

Memberikan gelar pahlawan terhadap figur tertentu atas dasar kalkulasi lokasi kelahiran, prestasi, dan etnisitas merupakan realisasi dari politik representasi.Apa yang disebut sebagai politik representasi adalah kekuasaan untuk menghadirkan lagi satu sosok yang memiliki keberanian dan kebaikan dari masa lampau ke zaman kini.

Representasi, sebagaimana diuraikan Stuart Hall (The Work of Representation, 1997), adalah bagian esensial dari proses di mana makna diproduksi dan dipertukarkan di antara anggota-anggota sebuah budaya. Representasi m e l i b a t k a n p e n g g u n a a n bahasa, tandatanda, dan citraancitraan yang merujuk pada sesuatu (identitas). Dalam politik representasi gelar pahlawan, diciptakanlah politisasi identitas yang menempatkan sang pahlawan sebagai Sang Diri (The Self) dan sosok yang bukan pahlawan sebagai Sang Lain (The Other).

Sang Diri adalah figur penuh aksi heroisme yang selalu unggul. Sebaliknya,Sang Lain merupakan profil yang sekadar menjadi residu belaka,misalnya pecundang atau pengkhianat. Hanya saja, dalam konteks ini, figur pahlawan sebagai Sang Diri dihadirkan kembali secara total dengan segenap kesempurnaannya. Dalam arah yang berlawanan, Sang Lain tidak pernah atau hanya disinggung dengan penceritaan serba sedikit karena sangat kuyup dengan keburukan. Mengikuti cara berpikir Hall, bergulirnya politisasi identitas gelar pahlawan dikarenakan adanya praktik-praktik politik representasi berikut ini. Pertama,secara linguistik, pengertian pahlawan hanya bisa hadir karena ada perbedaan (difference).

Pahlawan menjadi memiliki makna karena adanya sosok yang didefinisikan sebagai pecundang atau pengkhianat. Tidak ada pengertian pahlawan itu sendiri tanpa menghadirkan sosok oposisionalnya.Ketika pahlawan dikaitkan dengan tempat (provinsi) kelahiran,beberapa provinsi yang tidak mampu menunjukkan figur pahlawannya dianggap gagal dalam melahirkan heroisme. Seakan- akan dengan menghadirkan pahlawan mewakili provinsi tertentu, provinsi yang bersangkutan berhasil menjadi “gudang pahlawan”. Bagaimana dengan Provinsi Timor Timur yang pernah menjadi bagian dari Indonesia? Benarkah di sana memang tidak ada figur yang layak dijadikan sebagai pahlawan? Itulah wujud politisasi gelar kepahlawanan yang merujuk pada identitas lokasi berbasis provinsi.

Kedua, secara dialogis, makna kepahlawanan hanya muncul karena ada perbincangan dengan sosok yang dianggap pengkhianat. Makna kepahlawanan akan tetap terjaga jika terjadi dialog antara dua atau lebih pembicara. Makna kepahlawanan tidak sekadar dimiliki oleh seorang pembicara. Makna kepahlawanan hanya bergulir dalam proses memberi-danmengambil di antara pembicara. Jika hal ini dihubungkan dengan figur pahlawan, siapakah yang memberi-dan-mengambil lebih banyak suatu tindakan yang dipandang penuh heroisme? Problem ini terkait dengan prestasi yang dilakukan seseorang pada masa silam.

Dalam lingkup ini, layak apabila diajukan pertanyaan: Apakah Tan Malaka tidak pantas diberi gelar pahlawan hanya karena dia pernah dianggap sebagai pemberontak terhadap pemerintah yang sah? Ketiga, secara antropologis,kepahlawanan memiliki makna jika diatur dalam posisi-posisi yang berbeda dalam sebuah sistem klasifikatoris. Perbedaan ini adalah basis dari tatanan simbolik yang disebut sebagai budaya. Dalam domain ini, pahlawan seringkali dikaitkan dengan etnis tertentu yang dianggap memiliki darah kepribumian. Sosok yang bukan pribumi (nonpribumi) sangat jarang dianggap sebagai pahlawan. Figur nonpribumi, misalnya mereka yang berdarah Eropa, Arab, India, Jepang, atau Tionghoa, sangat tipis peluangnya diangkat sebagai pahlawan. Dalam wilayah provinsial, etnis-etnis nonpribumi ini tidak memiliki tanah keaslian atau awal pijakan.Padahal,bukankah banyak figur nonpribumi yang telah memberikan kontribusi bagi negara ini? Keempat, secara psikoanalitis, pemahaman tentang kepahlawanan dikaitkan dengan peran perbedaan dalam psike (kejiwaan) dalam kehidupan kita. Sosok yang disebut sebagai pahlawan muncul dari pembentukan Sang Lain yang dihubungkan dengan identitas seksual.

Dalam lingkup ini pertanyaan yang bisa dikemukakan ialah mengapa banyak sekali pahlawan yang berjenis kelamin pria? Tidak adakah pahlawan yang berjenis kelamin perempuan? Atau, kalau para pahlawan itu memang berjenis kelamin perempuan, mengapa figur yang muncul selalu dari kelas bangsawan atau figur yang menjadi istri dari profil yang pernah menyandang jabatan politis tertentu? Mengapa Marsinah, seorang buruh perempuan, yang tewas dianiaya segerombolan oknum militer tidak pernah diangkat sebagai pahlawan?

Seluruh penjelasan itu menunjukkan bahwa pemberian gelar pahlawan dengan merujuk pada lokasi kelahiran, prestasi, atau etnisitas (dan gender) adalah politisasi yang,disadari atau pun tidak, telah tertanam mendalam dalam memori bangsa ini.Penobatan seseorang sebagai pahlawan,secara otomatis, mengandaikan ada figur-figur lain yang diposisikan sebagai pecundang.Pahlawan bagi bangsa ini terbentuk dari sekian fragmentasi atau pecahan-pecahan yang berlandaskan pada identitas yang berlingkup pada kepribumian, provinsi kelahiran,kelas sosial, dan gender.

Perspektif lain

Sebenarnya, ada perspektif lain yang bisa digunakan untuk menyebut figur tertentu sebagai pahlawan. Cara pandang ini bersumber dari etika keutamaan (virtue ethics). Sebagaimana diuraikan K Bertens (Etika, 1997), dalam etika ada perbuatan yang melampaui kewajiban seseorang namun sangat terpuji jika dilakukan.Tidak ada orang yang akan dicela apabila tidak menjalankannya.Itulah yang disebut sebagai supererogatory acts, yakni perbuatan yang dilakukan lebih dari yang dituntut. Sebagai contoh, ketika banyak orang takut untuk melakukan perbuatan tertentu, maka sosok itu justru mengambil risiko untuk berbuat sebaliknya.

Misalnya, takut menghadapi teror,takut berhadapan dengan kekuatan militer yang sangat represif, takut karena kehilangan jabatan, atau ketakutan lainnya bisa diatasi dalam tindakan yang melampaui kewajibannya sendiri. Itulah sosok yang pantas dianggap sebagai pahlawan. Sosok semacam itu lazimnya mampu memberikan imajinasi tentang kebaikan bersama bagi komunitasnya. Ironisnya, sosok pahlawan ini selalu luput dari pantauan birokrasi negara yang kuyup dengan politisasi. Sebabnya adalah identitas mereka tidak mampu memenuhi kualifikasi yang ditetapkan negara.(*)

Triyono Lukmantoro
Dosen FISIP Universitas Diponegoro Semarang
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363082/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar