Selasa, 09 November 2010

Pahlawan Tanpa Nilai Kepahlawanan

Pahlawan Tanpa Nilai Kepahlawanan

Selasa, 09/11/2010 09:00 WIB - Anhar Widodo

Dosen ISI Solo, Peneliti
Lembaga Kajian Media
dan Transparansi Informasi Publik (Matrik)
Setiap melewati tanggal 10 November, pikiran kita diajak untuk mengingat kembali aksi heroik pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, perang mempertahankan kemerdekaan yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya hari pahlawan. Pahlawan, gelar pahlawan dan nilai-nilai kepahlawanan kembali menjadi perdebatan yang seperti tiada habisnya. Ruang-ruang diskusi, seminar, kuliah bahkan media massa turut meramaikan perdebatan, apakah seseorang layak mendapatkan gelar pahlawan atau tidak. Setelah Soeharto, yang sampai tulisan ini disusun masih menjadi polemik, sejarawan Anhar Gonggong melontarkan nama mantan juru kunci Gunung Merapi, almarhum Maridjan layak mendapatkan gelar pahlawan.
Apakah setiap orang layak mendapatkan gelar pahlawan? Ataukah memang pahlawan itu untuk siapa saja? Sejujurnya, pertanyaan yang perlu segera mendapatkan jawaban adalah apakah gelar kepahlawanan seseorang memberikan dampak dan manfaat yang lebih luas pada penanaman nilai-nilai kepahlawanan itu sendiri? Atau justru yang terjadi sebaliknya, kita mengalami surplus pahlawan, dan dalam waktu yang bersamaan kita mengalami defisit nilai-nilai kepahlawanan. Setiap tahun, pemerintah memberikan gelar pahlawan nasional kepada orang-orang tertentu yang dipandang layak menjadi pahlawan. Sejumlah daerah dan berbagai kelompok masyarakat mengusulkan agar nama-nama tertentu mendapatkan gelar pahlawan dari pemerintah. Akan tetapi perdebatan yang paling seru bukan pada nilai-nilai kepahlawanan seperti apa yang akan diwariskan kepada anak cucu kita, justru aspek layak-tidak layaknya seseorang mendapatkan gelar pahlawan.
Jika tidak salah membaca, generasi muda dan anak-anak kita sekarang lebih mengenal figur-figur dalam film superhero dan selebritis sebagai tokoh idola, pahlawan dan panutan mereka. Tontonan di televisi kita juga membombardir pikiran dan ingatan mereka dengan nama-nama populer yang dibesarkan oleh media massa. Pahlawan-pahlawan bangsa dari masa lampau hanya memenuhi rak-rak perpustakaan dalam buku sejarah yang kusut tanpa tersentuh untuk dibaca. Pahlawan-pahlawan kita benar-benar menjadi masa lalu bagi anak-anak yang lahir dalam era budaya yang serba terkomodifikasi dan termediasi. Semakin tidak populernya pahlawan-pahlawan itu bagi generasi muda kita salah satunya terjadi karena sejarah perjuangan bangsa menjadi pelajaran yang tidak populer di sekolah, dibandingkan misalnya dengan mata pelajaran matematika, IPA, IPS dan bahasa.
Pahlawan Bencana
Di tengah serangkaian bencana yang seperti bertubi-tubi melanda negeri ini, sebenarnya kita membutuhkan banyak pahlawan untuk ikut berperan aktif membantu mengatasi persoalan. Pahlawan sebenarnya adalah mereka yang datang tanpa harus terlihat sebagai dewa penolong, mereka yang dapat memberikan bantuan dan solusi bagi permasalahan korban bencana, dan mereka yang pergi dari lokasi bencana tanpa harus meninggalkan jejak di lokasi bencana. Alih-alih mendapatkan “pahlawan yang sebenarnya”, kita justru bertemu dengan sejumlah “pahlawan kesiangan” yang datang dengan berbagai motif dan agenda politik, jauh dari harapan masyarakat.
Tidak sedikit mereka yang semula seperti menjadi pahlawan, justru menjadikan masyarakat korban bencana sebagai objek pandangan (wisata bencana), dan objek ekonomi politik kekuatan-kekuatan bisnis dan kekuasaan tertentu. Miris hati kita manakala menyaksikan saudara-saudara kita di barak pengungsian korban Gunung Merapi dipaksa ikut tersenyum di depan kamera bersama sejumlah orang yang mengirimkan bantuan untuk mereka. Kecewa bercampur marah saat kita melihat posko bencana harus dikotak-kotakkan dengan bendera partai politik atau nama suatu perusahaan. Dan makin tidak habis mengerti ketika sejumlah pejabat yang datang, berkunjung kepada saudara-saudara kita di pengungsian tidak memberikan solusi.
Fenomena yang demikian semakin menjelaskan kepada kita bahwa transformasi gagasan spirit nilai-nilai kepahlawanan tidak menjadi bagian dari praktik kultural masyarakat kita. Egoisme kelompok yang tercermin dalam banyaknya bendera yang beraneka ragam di sejumlah lokasi pengungsian menegaskan bahwa semangat yang dibawa kelompok-kelompok itu tetap ekonomi politik. Sebuah perspektif yang menempatkan pihak-pihak tertentu sebagai korban dan pihak-pihak yang lain memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.
Agensi Kepahlawanan
Ketentuan tentang pahlawan nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 1964. Terdapat tiga kriteria yakni warga negara Indonesia, berjasa dalam membela bangsa dan negara, tidak pernah cacat dalam perjuangannya. Di dalam surat edaran Dirjen Pemberdayaan Sosial Departemen Sosial nomor 281/PS/X/2006 diuraikan lagi kriteria tersebut seperti perjuangan itu bukan sesaat melainkan secara konsisten (hampir) seumur hidup, mempunyai jiwa/semangat nasionalisme yang tinggi, memiliki jangkauan yang luas dan berskala nasional serta tidak pernah melakukan perbuatan tercela.
Merujuk pada aturan-aturan tentang gelar kepahlawanan tersebut, mestinya proses yang terjadi tidak berhenti pada sekadar seremonial pemberian gelar pahlawan dengan segenap hak dan kewajiban yang melekat di dalamnya. Lebih jauh, pemerintah mesti membentuk agensi yang akan berperan dalam transformasi gagasan, ide dan spirit kepahlawanan pada masyarakat secara luas. Harapannya, kita tidak hanya tahu bahwa, misalnya Soekarno atau Muhammad Hatta itu adalah pahlawan, tapi juga hal unik dan khas apa yang telah dilakukan oleh kedua orang tersebut sehingga dia layak bergelar pahlawan. Lembaga-lembaga pendidikan, sepertinya menjadi agensi yang tepat untuk menyemaikan nilai-nilai kepahlawanan tersebut.
Sekolah, misalnya, tidak cukup hanya membuat seorang anak menjadi cerdas pada berbagai pelajaran yang diajarkan, lebih dari itu diharapkan mampu mendidik anak-anak untuk meneladani jiwa kepahlawanan dari seseorang yang telah ditetapkan menjadi pahlawan. Kemudian sekolah juga memberikan ruang-ruang tertentu dalam mengaktualisasikan nilai-nilai kepahlawanan tersebut. (***)
http://harianjoglosemar.com/berita/pahlawan-tanpa-nilai-kepahlawanan-28741.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar