Selasa, 09 November 2010

Obama Datang di Tengah Bencana

Selasa, 09 November 2010 pukul 11:07:00
Obama Datang di Tengah Bencana

Rohmad Hadiwijoyo
Direktur Eksekutif CIDES

Andai mendapat kesempatan bertemu Presiden Obama di sela-sela lawatannya ke Jakarta, apa yang patut saya sampaikan? Di tengah rentetan bencana alam yang susul-menyusul di berbagai penjuru Tanah Air, saya akan mengingatkan Obama pada komitmen Amerika Serikat dalam penanggulangan pemanasan global dan perubahan iklim.
Amerika Serikat adalah penyumbang emisi karbon terbesar di dunia. Dengan bahasa terang, AS adalah pendorong paling kuat global warming dan climate change. Rentetan bencana yang menimpa kita dalam beberapa tahun terakhir tidak bisa dilepaskan dari dua fenomena itu.

Pada 2007, Pemerintah Indonesia menerbitkan Rencana Aksi Nasional dalam Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI). Dokumen itu antara lain mengutip hasil kajian IPCC bahwa 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai 2001-2005 adalah 0,76 derajat Celsius. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total muka air laut  pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m.

Menurut IPCC, kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21. Pemanasan global mengakibatkan perubahan iklim dan kenaikan frekuensi ataupun intensitas kejadian cuaca ekstrem. Pemanasan global  menyebabkan perubahan yang signifikan dalam sistem fisik dan biologis, seperti peningkatan intensitas badai tropis, perubahan pola presipitasi, salinitas air laut, perubahan pola angin, masa reproduksi hewan dan tanaman, frekuensi serangan hama, dan wabah penyakit.

Fardhu 'ain
Sebagai tuan rumah COP 13, Indonesia sadar betul posisi strategisnya dalam perang menghadapi perubahan iklim dan pemanasan global. Sebuah good news datang dari  Kepala Bappenas Armida S Alisjahbana belum lama ini. Lembaganya telah menyelesaikan penyusunan peraturan presiden terkait upaya peningkatan ketahanan energi dan penanganan perubahan iklim.

Perpres mencakup rencana aksi penurunan emisi karbon 26 persen pada 2020. Untuk periode 2010-2014, rencana aksi difokuskan pada delapan langkah, yaitu peningkatan efisiensi energi (demand side), pemanfaatan energi terbarukan, penerapan fuel switching BBM menjadi BBG untuk angkutan perkotaan, dan reklamasi kawasan eks pertambangan. Ada pula langkah terobosan seperti pengembangan sistem transportasi yang lebih efisien dan efektif.

Dengan kata lain, Indonesia telah memiliki landasan kebijakan yang komprehensif dalam upaya penanganan perubahan iklim dan pemanasan global. Ada RAN-PI  dan peraturan presiden yang segera terbit. Persoalannya, semua good news itu baru di atas kertas.

Kalau disederhanakan, langkah mendesak yang harus dilakukan Indonesia meliputi dua isu strategis. Pertama, mencegah deforestasi dan mengembalikan fungsi hutan. Kedua, menekan penggunaan energi fosil dan mengembangkan energi terbarukan. Dua isu strategis ini membutuhkan kemitraan internasional, khususnya dalam penyediaan dana yang memadai. Sebab, APBN kita belum memungkinkan untuk dibebani tugas berat itu.

Namun, pendekatannya tidak bisa sama. Untuk isu pencegahan deforestasi dan pengembalian fungsi hutan, pendekatan charity masih memungkinkan. Kita bisa mengajak negara maju untuk membantu menyelamatkan hutan. Sebab, menyelamatkan hutan Indonesia berarti menyelamatkan dunia. Memang, tidak menutup kemungkinan ada unsur bisnis melalui mekanisme perdagangan karbon. Namun, pada tahap awal, pendekatan charity dalam bentuk dana hibah, grant, dan sejenisnya lebih tepat.

Untuk isu pengembangan energi terbarukan, sejak awal Pemerintah Indonesia harus mengembangkan skema bisnis. Dan, itu bukan sesuatu yang mustahil karena Indonesia memiliki potensi energi terbarukan yang sangat menggiurkan untuk dikembangkan secara komersial. Contohnya adalah panas bumi atau geotermal.

Potensi panas bumi yang tersebar di berbagai daerah mencapai 27,000 MW. Dari potensi ini, kurang dari 10 persen yang sudah digarap.

Kendala pengembangan geotermal adalah investasi. Sebagai gambaran, dalam pengembangan panas bumi di Dieng, Kamojang, Jawa Barat, dan Lahendong, Sulawesi Utara, untuk mendapatkan listrik 105 MW, diperlukan sekitar 15 sampai 20 sumur.

Pengeboran satu sumur menelan biaya kurang lebih 5 juta dolar AS. Pembangunan geotermal di Ungaran, Jawa Tengah, diperkirakan menelan investasi sekitar 300 juta dolar AS. Oleh sebab itu, kita butuh investasi asing.

Pada pidato di Konferensi G20, Pitsburg, AS, September 2009, Presiden SBY mengatakan bahwa pemerintah membutuhkan dukungan dana internasional untuk mencapai target penurunan emisi 26 persen tahun 2020. Dengan pendanaan internasional yang memadai, SBY yakin Indonesia bisa menurunkan emisi sebesar 41 persen dari skenario business as usual pada 2020.

Appeal tersebut tepat karena perubahan iklim dan pemanasan global adalah problem bersama semua negara. Meminjam istilah agama, persoalan ini bukan fardhu kifayah, dalam arti jika sudah ada satu orang melaksanakan, semua orang terbebas dari kewajiban itu. Persoalan ini harus dipandang sebagai fardhu 'ain, yakni semua orang harus melaksanakan kewajiban tanpa memandang status ekonomi, sosial, atau lokasi geografisnya.

Komitmen yang tertuang dalam Copenhagen Accord dinilai banyak kalangan masih jauh dari memadai untuk menggambarkan fardhu 'ain negara-negara maju. Apalagi, implementasi komitmen itu juga meragukan sehingga menimbulkan kekecewaan banyak negara berkembang.

Maka, dalam pembicaraan dengan Obama di Jakarta, Presiden SBY perlu mempertegas appeal tersebut. Itu tidak berlebihan karena bobot fardhu 'ain AS  lebih besar ketimbang negara mana pun.
http://koran.republika.co.id/koran/24

Tidak ada komentar:

Posting Komentar