Selasa, 09 November 2010

Surat untuk Obama

Rabu, 10 November 2010 pukul 11:04:00

Surat untuk Obama


Marwan Batubara
Indonesian Resources Studies

PT Freeport Indonesia (PTFI, Freeport) telah mengeksploitasi tanah Papua (Timika) dengan menambang emas, tembaga, dan perak lebih dari 40 tahun. Namun, pendapatan negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) maupun pendapatan asli daerah (PAD) bagi tanah Papua tampaknya masih sangat rendah dibanding keuntungan yang diperoleh Freeport. Pembuangan tailing oleh Freeport telah pula mendatangkan kerusakan lingkungan, namun pemerintah terkesan menutup mata terhadap daya rusak pertambangan ini.
Lingkungan di sekitar wilayah tambang, sungai, dan laut telah tercemar cukup parah. Kegiatan penambangan tidak hanya mengubah bukit/gunung Ertsberg menjadi lembah dalam, tetapi juga mengubah bentang alam seluas 166 km persegi di daerah aliran sungai Ajkwa, mencemari perairan muara sungai dan mengontaminasi sejumlah makhluk hidup. Perairan sungai dan laut muara Sungai Ajkwa telah tercemar dengan air asam.

Kehidupan suku asli Papua pun terganggu. Sejak ditandatanganinya KK I pada tahun 1967, alur hidup suku Amungme, Kamoro, Dani, Nduga, Damal, Moni, dan Mee (Ekari) berlangsung surut. Kerusakan lingkungan oleh Freeport Indonesia adalah faktor pokok peluluhlantakan masa depan ketujuh suku. Kehidupan penduduk Papua sebagai daerah penghasil masih jauh dari sejahtera. Sebagian besar penduduk asli berada di bawah garis kemiskinan. Timika bahkan menjadi tempat berkembangnya penyakit mematikan seperti HIV/AIDS.

Sementara itu, dari tahun ke tahun, Freeport terus mereguk keuntungan. Selama 10 tahun terakhir, Freeport terus berkembang dengan pertambahan aset rata-rata 41,3 persen/tahun dan kenaikan produksi rata-rata 30 persen/tahun. Total keuntungan (kotor) Freeport tahun 2004-2008 adalah US 10,762 miliar dolar, sedangkan total penerimaan negara (berupa pajak dan royalti) hanya US 4,411 miliar dolar. Pada 2009 lalu, Freeport memperoleh keuntungan sebesar US 4,074 miliar dolar, sedangkan pemerintah hanya memperoleh pendapatan US 1,7 miliar dolar.

Ganti Rugi

Pada 2001/2002, melalui Menko Perekonomian Rizal Ramli, Pemerintah Indonesia pernah mengajukan permintaan ganti rugi atas besarnya kerusakan lingkungan yang terjadi akibat operasi penambangan. Pada waktu itu, pemerintah meminta ganti rugi sebesar US 5 miliar dolar, sedang Freeport, melalui perwakilannya di Jakarta (PTFI), hanya bersedia membayar sebesar US 3 miliar dolar.

Karena perbedaan jumlah ganti rugi ini, PTFI meminta penundaan waktu eksekusi ganti rugi sampai memperoleh persetujuan kantor pusatnya di Phoenix, Arizona, AS.

Sebelum kesepakatan tercapai, Presiden Gus Dur terlanjur dimakzulkan dan pemerintahan Indonesia berpindah kepada Presiden Megawati. Setelah itu, tidak diketahui apakah negosiasi telah terselesaikan. Kami yakin hingga saat ini Freeport masih belum memenuhi kewajibannya.

Selama berpuluh tahun negara mendapat penerimaan yang sangat rendah dari tambang Freeport. Rakyat Papua pun diperlakukan tidak adil.
Karenanya, pemerintah harus segera melakukan perbaikan, antara lain, berupa perbaikan Kontrak Karya (KK), peningkatan pemilikan saham, dan penempatan personel mewakili negara, penerapan prinsip-prinsip penambangan yang baik, peningkatan pengawasan, serta penerapan berbagai peraturan secara konsisten, termasuk pelaksanaan Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Minerba.

KK Generasi V yang berlaku saat ini ditandatangani pada tahun 1991 saat pemerintahan orde baru. Faktanya, Soeharto sebagai pemimpin Orba sudah dijatuhkan. Oleh sebab itu, kesepakatan Soeharto dalam KK V seharusnya batal demi hukum.

Freeport yang telah sangat diuntungkan pasti menolak perubahan KK V. Namun, sangat zalim dan merugikan jika bangsa ini diminta tetap tunduk kepada kesepakatan masa lalu yang tidak adil dan melanggar hukum, tanpa ada koreksi!

Pada awalnya (tahun 1990-an), saham PTFI masing-masing dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. (FCX, sebesar 81.28 persen), PT Indocopper Investama (9,36 persen), dan Pemerintah Indonesia (9.36 persen). PT Indocopper Investama sendiri telah beberapa kali berganti pemilik, seperti Grup Bakrie dan Bob Hasan. Pemilik terakhir Indocopper Investama adalah FCX sehingga saat ini PTFI dikuasai oleh Freeport/FCX (90,34 persen) dan pemerintah RI (9,36 persen). Dengan hanya 9,36 persen saham, jangankan seorang direktur, satu orang komisaris pun tak mampu ditempatkan oleh Pemerintah Indonesia di PTFI. Orang Indonesia yang duduk sebagai komisaris di Freeport selama ini adalah komisaris independen.

Pada Mei 2008, FCX menandatangani MoU dengan Pemda Papua untuk mengkaji kemungkinan pembelian 9,36% saham Indocopper Investama oleh Pemda Papua dari FCX pada harga pasar. Hingga saat ini, rencana pembelian tersebut belum terwujud. Tampaknya modus penjualan ini sama seperti kasus pemilikan saham PTFI tahun 1990-an atau saham Blok Cepu oleh Pertamina (45 persen) dan konsorsium 4 pemda (10 persen) tahun 2006. Kedua pemegang saham "pihak Inodnesia" tersebut dengan sengaja dipecah oleh Freeport sehingga tidak memenuhi syarat menempatkan wakil/direktur untuk ikut mengelola perusahaan.

Pemerintah Indonesia melalui Presiden SBY dan rakyat Indonesia melalui DPR harus segera meminta ganti rugi kerusakan lingkungan, memperbaiki KK, dan meningkatkan pemilikan saham agar negara ikut berperan aktif mengelola tambang Freeport. Sesuai pasal 33 UUD 1945, pihak Indonesia yang tepat memiliki saham PTFI adalah pemerintah pusat bersama BUMN dan BUMD milik Papua dan Papua Barat. Segala bentuk rekayasa untuk memberikan kesempatan kepada pihak swasta memiliki saham Freeport harus dihindari.

Diakui bahwa harga saham Freeport saat ini sangat tinggi. Namun, mengingat tingginya harga tersebut, wajar jika pihak Indonesia mendapatkan potongan harga. Disamping itu, ganti rugi kerusakan lingkungan, minimal sebesar US 5 miliar dolar, dapat pula dikonversi menjadi saham milik pemerintah. Dengan demikian, mimpi untuk ikut menikmati hasil tambang milik sendiri secara optimal dapat terwujud.
http://koran.republika.co.id/koran/24/122824/Surat_untuk_Obama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar