Selasa, 09 November 2010

Sebungkus Nasi untuk Pengungsi

Sebungkus Nasi untuk Pengungsi

Rabu, 10/11/2010 09:00 WIB - Naufil Istikhari kr

Relawan Merapi
di Humaniora Park UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Sejak erupsi Merapi 26 Oktober lalu, korban jiwa diperkirakan mencapai 148.000 lebih, sementara korban luka-luka terus meningkat. Jumlah korban merapi semakin membeludak sejak letusan dahsyat 5 November dini hari. Daerah rawan bencana pun diperluas menjadi 20 kilometer dari puncak Merapi. Tak pelak, daftar pengungsi yang semakin bertambah jumlahnya membutuhkan area baru yang lebih luas guna menampung pengungsi secara keseluruhan. Kini, Stadion Maguwoharjo Sleman menjadi tempat alternatif bagi korban yang berada di kawasan Sleman.
Peningkatan jumlah pengungsi secara signifikan, membuat tim relawan dan juru masak di dapur pengungsian kelimpungan untuk mencukupi kebutuhan pangan para korban secara intensif. Bantuan bahan-bahan pangan terus mengalir dari berbagai penjuru, tetapi minimnya juru masak ditambah dengan desakan waktu dalam melayani korban, harus ditangani dengan tepat dan cepat, menambah beban baru bagi relawan. Belum lagi proses masak-memasak yang membutuhkan waktu tidak sebentar, mengharuskan keikhlasan dan ketulusan juru masak untuk tidak tidur semalam suntuk guna mempersiapkan makanan keesokan harinya.
Itu artinya, bukan hanya korban bencana yang menjadi perhatian serius, tetapi manajemen penyaluran bantuan, terutama makanan sangat penting diatur dengan baik dan maksimal. Sebab, para korban mengungsi dalam keadaan “terpaksa” dan berada di titik nol. Tak ada harta yang bisa dibawa kecuali hanya sebatas pakaian dan uang seadanya. Kondisi semacam itu, menempatkan posisi korban dalam ketidakberdayaan dan sangat memerlukan bantuan orang lain. Meskipun sebagian harta yang mereka miliki masih bisa diselamatkan, apakah itu mampu mencukupi kebutuhan dalam menyelamatkan diri serta keluarganya yang notabene masih mengalami beban psikis?
Tentunya, uluran tangan sangat diharapkan para korban demi memperoleh perlindungan yang manusiawi. Tak peduli dari mana bantuan itu berasal dan atas kepentingan apa. Satu-satunya harapan yang pertama kali muncul adalah mendapatkan sesuap nasi. Dalam keadaan genting, kebutuhan dasar manusia sangat sederhana, yaitu hasrat tertuju hanya untuk sekadar makan dan minum. Inilah yang disebut kebutuhan fisiologis oleh Abraham Maslow dalam buku Relegion, Values, and Peak Experiences (1964). Setelah kebutuhan dasariah mereka terpenuhi, baru kebutuhan akan rasa aman timbul. Kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh para korban bencana Merapi, sangat mendesak dan butuh yang praktis. Sementara di kamp-kamp pengungsian, masih belum bisa memenuhi kebutuhan tersebut secara baik dan maksimal. Maka, tak ada jalan lain kecuali kepedualian masyarakat yang aman dari bencana, seyogianya disalurkan dalam formulasi seefektif mungkin dalam rangka membantu meringankan beban yang ditanggung para korban. Di sinilah individualisme harus absen dari sosial masyarakat setempat.
Solidaritas
Di tengah kewalahan yang dirasakan relawan yang ada di lokasi penampungan, secara sadar masyarakat yang aman dari bencana, khususnya yang berada di Kota Yogyakarta, merasakan dan menumbuhkan spirit baru dalam upaya membantu meringankan beban psikologis yang diderita para korban. Spirit tersebut terhimpun dalam sebuah gerakan sosial yang kelihatan sepele, yaitu dengan bantuan nasi bungkus. Walaupun secara struktural-formal tidak bisa dikatakan gerakan, tetapi secara kultural menunjukkan aksi luar biasa yang hasilnya pun sangat di rasa oleh para korban maupun relawan sendiri.
Ada yang unik dari gerakan kesadaran masyarakat tersebut. Sebab, nasi bungkus atau sebungkus nasi adalah ikon kemiskinan yang biasa terjadi pada rakyat miskin yang kelaparan. Dalam pernak-pernik kehidupan yang semakin mahal, sebungkus nasi terkadang menjadi tujuan rakyat miskin dalam menyambung hidup. Nasi bungkus mendapat tempat tersendiri di hati rakyat miskin. Terkadang ia merupakan barang mewah yang sulit didapatkan. Sedangkan bentuk kepedulian masyarakat Kota Yogyakarta, nyata-nyata melambangkan ikon yang kelihatan tak layak bagi kehidupan yang metropolis. Bukankah ini adalah bentuk kepedulian yang setengah hati?
Baik, orang boleh mengira seperti itu. Namun secara realistis, kepedulian semacam itu tidak bisa dianggap remeh. Karena nasi bungkus menjadi alternatif yang sangat efektif membantu pemenuhan kebutuhan fisiologis korban. Buktinya, setelah erupsi Merapi yang terjadi Jumat dini hari lalu, secara drastis kuota pengungsi melonjak tajam. Stadion Maguwonharjo Sleman dipenuhi pengungsi baru. Sementara tim relawan di sana masih belum siap menyediakan makanan. Kalau tidak dengan bungkusan-bungkusan nasi yang berasal dari masyarakat kota tadi, para korban akan telantar kelaparan. Oleh karena bantuan yang terkesan sepele itu, tidak hanya korban yang merasa terbantu. Tetapi relawan pun ikut lega karena sedikit dapat terpenuhi kewajibannya (Kompas, 6/11).
Kepedulian dari masyarakat kota, benar-benar muncul dari kesadaran individu yang menjadi kolektif serta adanya niat tulus membantu sesama guna menunjukkan empati bahwa kita tidak bisa hidup sempurna tanpa bantuan orang lain. Gerakan nasi bungkus itu, tidak lahir karena perintah atau instruksi dari pihak atasan, melainkan sebentuk rasa solidaritas tinggi yang diwujudkan dalam nasi bungkus, dan itu sangat besar manfaatnya bagi pihak-pihak terkait. Fenomena tersebut telah melembaga di masyarakat Yogyakarta. Bahkan pada 2006 dalam topik yang sama, nasi bungkus menjadi bantuan alternatif, namun cukup signifikan. Sehingga, pihak keraton tergerak untuk mewajibkan setiap kabupaten harus menyumbangkan 2.000 bungkus nasi setiap harinya. Tradisi semacam ini, menurut budayawan Butet Kertaradjasa, merupakan implementasi dari akar kebudayaan masyarakat Jawa yang masih terjaga, yaitu semangat gotong-royong.
Di sisi lain, kesadaran yang demikian serentak dan kompak tanpa ada yang menyuruh, adalah sebentuk kebetulan dalam satu waktu dan satu tujuan utuh, yaitu kebetulan sama-sama ingin membantu para korban yang tertimpa bencana. Dan itu tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, bahkan juga dilakukan oleh masyarakat Tionghoa yang tergabung dalam Jogja Chinese Art and Culture Center (JCACC). Sehingga wajar jika saya menyebutnya dengan gerakan. Faktor kebetulan ini, mirip dengan apa yang ada dalam novel Celestine Prophecy, karya James Redfield, bahwa faktor kebetulan merupakan energi yang memiliki kekuatan dahsyat untuk membangun rasa kemanusiaan. Faktor inilah yang perlu dicari oleh masyarakat dalam membangun sebuah gerakan atas nama kemanusiaan dan keselamatan.
Sehingga, gerakan nasi bungkus yang dilakukan oleh masyarakat Kota Yogyakarta, tidak hanya dipahami dari sudut pandang yang jelek. Tetapi harus diposisikan dalam kerangka yang benar dan utuh. Karena pada kenyataannya, korban merapi merasa sangat terbantu dengan gerakan nasi bungkus yang terkesan sepele itu. Ini menunjukkan bahwa tradisi Jawa (yang sulit terjadi di Ibukota), holobis kontul baris, satu kekuatan untuk bersama, belum tergerus oleh hedonisme kota metropolitan. Dan dalam peringatan Hari Pahlawan 10 November ini, barangkali semakin mudah menemukan pahlawan-pahlawan di antara korban letusan Merapi. Para warga yang dengan sukarela dan tulus hati memberikan bantuan, dalam wujud apapun, mereka pastinya juga telah menjadi pahlawan bagi warga pengungsi. Begitu pula para relawan serta aparat yang senantiasa mengurus kebutuhan pengungsi, merekalah pahlawan sejati. (***)
http://harianjoglosemar.com/berita/sebungkus-nasi-untuk-pengungsi-28833.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar