Selasa, 09 November 2010

SUARA MAHASISWA, Antisipasi Bencana dengan Back to Nature

SUARA MAHASISWA, Antisipasi Bencana dengan Back to Nature PDF Print
Tuesday, 09 November 2010
MENJELANG berakhirnya 2010, Indonesia dirundung banyak bencana alam,mulai dari banjir bandang yang menerjang Wasior di Papua,gempa dan tsunami di Kepulauan Mentawai, dan letusan Gunung Merapi yang saat ini masih membara di DI Yogyakarta.
Fakta ini mengingatkan masyarakat bahwa gugusan kepulauan Nusantara memang rawan akan bencana. Letak Indonesia yang strategis sekaligus berbahaya ini, sudah seharusnya melahirkan konsep penduduk yang mampu meminimalisasi dan mengantisipasi dampak bencana alam. Ironisnya, di tengah perkembangan teknologi yang pesat seperti saat ini, korban yang jatuh tak pernah dapat dihindari. Bukan hanya beberapa, terkadang korban mencapai puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan jiwa. Tiap kali bencana datang, penduduk panik dan melakukan tindakan sporadis yang sesungguhnya tidak efisien.

Seakan-akan masyarakat kita tidak pernah siap dengan fakta bahwa Indonesia merupakan daerah rawan bahaya.Lantas, di mana konsep mitigasi bencana yang pernah dipopulerkan beberapa waktu lalu? Ketidaksiapan masyarakat dalam menanggulangi dampak bencana alam tak lepas dari kecenderungan manusia saat ini yang jauh dari alam. Bencana alam,seperti apa yang akhir-akhir ini dialami,bukan merupakan hal baru. Sejak ratusan tahun lalu nenek moyang bangsa Indonesia telah mengalami, dan belajar untuk menanggulanginya. Ilmu ini kemudian diwariskan dalam bentuk kearifan lokal kepada generasi berikutnya.

Sebagai contoh kearifan lokal Semong yang ada di pulau Simeulue. Tradisi ini mengajarkan kepada masyarakat setempat untuk segera lari ke bukit atau tempat yang lebih tinggi ketika air di pantai surut tiba-tiba. Selain itu,ada pula tradisi di masyarakat Jawa,khususnya daerah gunung berapi,yang mempercayai jika kera-kera telah turun gunung atau hewanhewan bertingkah laku di luar kebiasaan, maka akan terjadi erupsi atau letusan gunung berapi. Saat ini masyarakat modern telah semakin jauh meninggalkan kearifan lokal ini.Alam yang seharusnya menjadi pertanda bagi manusia telah banyak dirusak demi kepentingan pembangunan.

Akibatnya, elemenelemen yang dahulu mampu membuat sebuah mekanisme peringatan dini akan terjadinya bencana,kini tak mampu bekerja dengan baik. Melihat semua ini,perlu ada langkah sistematis yang memadukan antara tradisi kearifan lokal dengan teknologi modern. Sebab, alat teknologi modern saat ini hanya mampu untuk mendeteksi bencana setelah terjadi. Sedangkan kearifan lokal setempat mengajarkan masyarakatnya untuk membaca tanda-tanda alam. Jalan yang paling efektif adalah dengan membina generasi muda melalui ranah pendidikan. Perlu ada pengenalan kembali (revitalisasi) terhadap kearifan lokal yang dimiliki di masing-masing daerah.

Berbagai wujud kearifan lokal berikut berbagai tindakan antisipasi bencana perlu diperkenalkan terutama kepada generasi muda agar mereka bisa menjadi pemandu bagi masyarakat ketika terjadi bencana alam.Sehingga,masyarakat dapat segera mengantisipasi dampak bencana tanpa perlu panik dan menunggu hingga semuanya terlambat. Selain itu,pengenalan terhadap kearifan lokal ini pun akan turut mengajak generasi muda untuk mencintai alam.Akan timbul kesadaran dalam benak mereka bahwa kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari alam.

Ketika alam dirusak,maka para penanda akan hilang,dan bencana tak akan terelakkan. Semoga semua bencana ini lekas berakhir dan bangsa Indonesia dapat kembali berbenah diri.(*)

Dimas Prasetyo Muharam
Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/363079/

1 komentar:

  1. wah. terima kasih tulisan saya dipublished di sini. anyway, visit website saya juga ya di www.dimasprasetyo.net thanks :)

    BalasHapus